Pro-Kontra Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Muhammadiyah Ajak Cari Titik Temu

5 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir ikut berkomentar terkait polemik terhadap usulan gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto yang belum lama ini diumumkan oleh Kementerian Sosial. Diketahui, nama  Soeharto masuk dalam daftar 10 usulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025. 

Kabar ini sontak saja disambut pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Banyak juga yang menyoroti pelanggaran HAM berat dan korupsi di masa pemerintahannya. Terkait hal ini, Haedar mengajak semua pihak untuk melakukan dialog kebangsaan yang terbuka dan menyeluruh.

Haedar berpendapat seluruh pihak yang terlibat pro dan kontra ini semestinya berdialog untuk mencapai rekonsiliasi.

"Semua harus ada dialog dan titik temu. Perspektif kita menghargai tokoh-tokoh bangsa yang memang punya sisi-sisi yang tidak baik, tetapi juga ada banyak sisi-sisi baiknya," kata Haedar Nashir, Rabu (23/4/2025).

Haedar tak membeberkan sudut pandang Muhammadiyah soal layak atau tidaknya gelar pahlawan nasional itu diberikan bagi Soeharto pasca diusulkan Kementerian Sosial RI ini. Akan tetapi, dia menekankan pentingnya melihat tokoh bangsa secara utuh dan menjadikan proses penilaian kepahlawanan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional.

"Coba bangun dialog untuk rekonsiliasi, lalu dampak dari kebijakan-kebijakan yang dulu berakibat buruk pada hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya. Itu diselesaikan dengan mekanisme ketatanegaraan yang tentu sesuai koridornya," ujarnya.

Dia lalu mencontohkan Presiden pertama RI, Soekarno, yang sempat tertunda mendapatkan gelar Pahlawan Nasional karena perdebatan semacam itu. Hal serupa juga pernah terjadi pada tokoh-tokoh dari kekuatan masyarakat, seperti, Muhammad Natsir dan Buya Hamka, yang sempat mengalami kesulitan dalam proses pengusulan gelar pahlawan, hingga mendapatkan pengakuan negara.

"Dulu kita kontroversi soal Bung Karno. Padahal, beliau adalah tokoh sentral, proklamator, dan lain sebagainya," ujarnya.

Dia berharap bangsa Indonesia tak lagi mengulang pola tersebut. Menurut Haedar, proses pembahasan terkait gelar kepahlawanan harus menjadi pembelajaran kolektif agar bangsa Indonesia ke depan tidak terjebak dalam konflik yang kontradiktif. 

"Saya selalu berpesan bahwa jatuhnya setiap tokoh bangsa yang besar itu karena godaan kekuasaan yang tak berkesudahan. Nah, di sinilah semua harus belajar tentang nilai-nilai kepahlawanan bahwa tokoh bangsa saat ini dan ke depan harus sudah selesai dengan dirinya," ucap dia.

Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengklaim bahwa usulan nama Soeharto tersebut berasal dari masyarakat melalui berbagai jalur, termasuk seminar dan masukan dari sejarawan serta tokoh daerah. Proses pengusulan, menurutnya, melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga pusat.

Usulan nama Soeharto itu wajar dan mengajak masyarakat untuk fokus pada prestasi Soeharto, bukan hanya kekurangannya selama menjabat sebagai Presiden RI. Dia juga menekankan pentingnya menghargai jasa para pemimpin pendahulu dalam membangun Indonesia, meskipun mengakui adanya berbagai pandangan terkait figur Soeharto.

Setidaknya ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025. Beberapa tokoh yang kembali diusulkan antara lain Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Jawa Timur), Soeharto (Jawa Tengah), dan Bisri Sansuri (Jawa Timur). Kemudian Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat). 

Lalu ada empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Midian Sirait (Sumatera Utara), dan Yusuf Hasim (Jawa Timur).

Read Entire Article
Politics | | | |