Rapor Kinerja APBN: Pendapatan Negara Turun, Defisit Melebar, Utang Melejit

7 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengkritisi kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada kuartal I 2025. Menurutnya, realisasi anggaran pada tiga bulan pertama tahun ini buruk karena kondisi defisit yang kian melebar.

“Realisasi tiga bulan ini berkinerja lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Awalil dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).

Ia menjelaskan, realisasi pendapatan negara sampai dengan 31 Maret 2025 sebesar Rp 516,1 triliun, atau 17,20 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp 3.005,1 triliun. Angka tersebut lebih rendah dari capaian tahun-tahun lalu untuk kurun waktu serupa, yaitu 22,14 persen pada 2022, 26,22 persen pada 2023, dan 22,11 persen pada 2024. Realisasi tersebut tercatat turun sebesar 16,76 persen dibanding tahun lalu.

Awalil mengatakan, tahun 2024 pun sebenarnya telah mengalami penurunan, namun hanya sebesar 4,13 persen. Sedangkan pada 2022 dan 2023 justru naik, masing-masing sebesar 32,26 persen dan 28,98 persen.

Adapun, realisasi penerimaan perpajakan sebagai bagian dari pendapatan negara sebesar Rp 400,1 triliun atau 16,10 persen dari target APBN 2025. Angka tersebut juga lebih rendah dibandingkan capaian tahun-tahun lalu, yaitu 22,56 persen pada 2022, 24,96 persen pada 2023, dan 20,04 persen pada 2024.

Realisasi tersebut juga turun sebesar 13,57 persen dibanding tahun lalu. Tahun 2024 pun telah alami penurunan sebesar 8,24 persen. Sedangkan pada 2022 dan 2023 justru naik, masing-masing sebesar 38,57 persen dan 25,36 persen.

“Penurunan penerimaan perpajakan merupakan indikasi daya beli masyarakat turun dan kinerja ekonomi melambat. Bisa ditambahkan pelaksanaan Coretax yang masih bermasalah. Akan tetapi, pemerintah masih denial dengan mengeklaim daya beli masih kuat dan perekonomian tetap tumbuh sesuai target, serta tidak jelas mengakui adanya masalah Coretax,” ujar Awalil.

Dia melanjutkan, adapun realisasi belanja negara telah mencapai Rp 620,3 triliun atau 17,10 persen dari target APBN yang sebesar Rp 3.621,3 triliun. Angka tersebut meningkat 1,37 persen dari realisasi tahun lalu. Padahal, sempat ada pemblokiran berbagai pos belanja sekitar sebulan karena proses efisiensi APBN.

Awalil melihat, pemblokiran tampak cukup berpengaruh pada realisasi belanja pemerintah pusat yang turun 3,37 persen dibanding tahun lalu. Akan tetapi, realisasi Transfer ke Daerah (TKD) masih mencapai 22,50 persen dari target, dan naik 12,36 persen dibanding tahun lalu. Menurutnya, kinerja TKD cukup wajar karena harus dilakukan terkait dengan layanan publik yang wajib di daerah.

“Salah satu yang mengherankan adalah belum adanya keputusan dan publikasi resmi dari kebijakan efisiensi anggaran. Sampai acara sarasehan ekonomi 8 April lalu, Sri Mulyani masih mengatakan postur APBN tidak berubah. Sejauh ini berarti, rencana belanja masih seperti semula,” terangnya.

Dengan capaian realisasi pendapatan dan belanja per akhir Maret 2025 tersebut, angka defisit tercatat sebesar Rp 104,2 triliun pada kuartal I tahun ini. Secara persentase angka tersebut merupakan 16,90 persen dari target yang sebesar Rp 616,19 triliun.

“Padahal, kurun waktu serupa pada tiga tahun sebelumnya berturut-turut dialami surplus. Nilai surplusnya Rp 11,09 triliun pada 2022, Rp 128,09 triliun pada 2023, dan Rp 8,07 triliun pada 2024,” terangnya.

Bahkan, Awalil mengomparasikan, persentase defisit atas target setahun ternyata lebih buruk dari saat pandemi. Meski juga defisit, persentase realisasi triwulan pertama atas target defisit setahun hanya 7,38 persen pada 2020 dan 14,28 persen pada 2021.

Ia melanjutkan, akibat langsung dari defisit yang cukup lebar pada kuartal I 2025 itu, pembiayaan utang pun melonjak, yakni mencapai Rp 270,4 triliun atau 34,08 persen dari target setahun sebesar Rp 775,87 triliun. Angka tersebut merupakan persentase paling tinggi selama kurun waktu serupa pada tahun-tahun lalu, yaitu: 15,40 pada 2022, 32,30 persen pada 2023, dan 16,30 persen pada 2024.

Awalil lantas menyinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyampaikan bahwa itu merupakan strategi front loading dan diklaim memenuhi target pembiayaan secara on-track. Alasan yang dikemukakan berupa cost of fund tetap efisien dan risiko yang terus dimitigasi.

“Sama sekali tidak diakui adanya kesulitan arus kas (cashflow). Padahal secara sepintas saja tampak sebagai contoh pembayaran THR jelang lebaran sebesar Rp 49 triliun tak bisa dilakukan jika tidak berutang lebih awal,” ujarnya.

Awalil menyampaikan, perlu diketahui bahwa sampai dengan 31 Maret 2025, defisit terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran sebesar Rp 145,8 triliun, artinya ada persiapan pula bahwa bulan April dan Mei masih ada kesulitan arus kas. Besaran ini tidak ditampilkan dalam paparan Menkeu saat agenda Sarasehan Ekonomi Nasional pada 8 April 2025 lalu, namun bisa dihitung dari data defisit dan pembiayaan anggaran.

“Secara keseluruhan, kinerja triwulan pertama APBN 2025 tidak baik-baik saja, bahkan buruk. Jika rencana efisiensi anggaran tidak segera dipastikan, atau ternyata hanya realokasi pos-pos belanja, maka defisit terancam akan melebar dari targetnya,” tutupnya.

Read Entire Article
Politics | | | |