
Oleh : Muhammad Murtaqi, alumni Pesantren Roudhotul ‘Ulum Cidahu.
REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG— “Badak, badak putih! Turun, turun!” Teriakan kondektur bus jurusan Kalideres–Labuan menggema di antara riuh para penumpang. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Cadasari, salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Baros, Kabupaten Serang.
Setiap bus berhenti, para tukang ojek pangkalan langsung berebut penumpang. “Hayu Cidahu, Nyomplong, Tanagara!” “Bade ka mana, Mang? Arek ka Cidahu?”
Begitu riuh dan khas suasana terminal di kaki Gunung Karang. Walau jarak antara Cadasari dan Cidahu tidak terlalu jauh, jalan yang menanjak membuat saya memilih naik ojek. Angin pegunungan yang sejuk menyapa sepanjang perjalanan. Hingga tak lama kemudian tibalah di Pondok Pesantren Roudhotul ‘Ulum Cidahu, sebuah tempat yang menjadi ladang ilmu dan tempaan jiwa.
Jejak tradisi yang hidup
Tahun 2007, saya bertekad melanjutkan perjalanan menuntut ilmu di Cidahu setelah sebelumnya menimba ilmu di beberapa pesantren, di antaranya yaitu Pondok Pesantren Roudhotussalam Cimone (1989), Pondok Pesantren Daar el-Nahwi Pasir Gadung (1995), dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri (1999).
Di Lirboyo, saya sekamar dengan KH Mukti Ali Qusyairi sahabat baik yang kelak menjadi penulis produktif baik menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit besar seperti Mizan dan Republika maupun menulis opini di koran-koran, seperti Republika, Media Indonesia, Tempo, dan yang lainnya.
Saya ingat betul dulu waktu di pesantren, beliau kutu buku, sudah bisa menulis di Majalah Dinding Pesantren, dan selalu menjadi ketua musyawarah atau rois am kelas dan sekretaris umum LBM MHM Lirboyo.
Pesantren Cidahu didirikan sekitar 1970-an oleh Abuya Sepuh, yakni Abuya Dimyati bin Abah Amin al-Kalahani. Beliau dikenal sebagai ulama besar Banten yang alim, wara’, dan sangat mencintai kitab-kitab klasik Islam.
Bangunan pesantrennya sederhana namun memancarkan wibawa. Sebagian besar berdinding anyaman bambu, berlantai kayu, dan beratap daun rumbia atau kiray. Asrama santri disebut dengan kobong.
Tiap kobong, asrama santri, tidak diperkenankan menggunakan listrik. Hanya lampu cempor kecil berisi minyak tanah yang menerangi malam-malam pengajian. Listrik hanya menyala di gang-gang dan majelis utama. Suasana ini masih dipertahankan hingga saat ini.

3 hours ago
3











































