Home > Kolom Tuesday, 08 Apr 2025, 11:45 WIB
Scrubber diklaim bisa lebih ramah lingkungan dari bahan bakar rendah belerang.

ShippingCargo.co.id, Jakarta---Sejak diberlakukannya batas global kandungan sulfur dalam bahan bakar laut oleh IMO (International Maritime Organization) pada tahun 2020, dunia pelayaran terus mencari cara paling efektif untuk menekan emisi tanpa mengorbankan efisiensi. Salah satu solusinya: menggunakan scrubber untuk tetap membakar Heavy Fuel Oil (HFO).
Namun, apakah benar penggunaan scrubber ini lebih buruk bagi lingkungan? Sebuah studi baru dari peneliti MIT dan Georgia Tech—dengan dukungan sebagian dari perusahaan pelayaran Oldendorff Carriers—mengklaim sebaliknya.
Penelitian ini , seperti dilansir oleh Maritime Institute, menggunakan kapal kargo besar Hedwig Oldendorff sebagai studi kasus. Mereka melakukan pengukuran emisi langsung dari kapal serta analisis air limbah dari scrubber. Metodenya menyeluruh: mereka melakukan penilaian siklus hidup penuh (Well-to-Wake Lifecycle Assessment / WtW LCA), yang mencakup seluruh rantai pasok bahan bakar—dari ekstraksi, produksi, distribusi, hingga pembakaran di kapal.
Hasilnya mengejutkan: penggunaan HFO dengan scrubber ternyata menghasilkan dampak lingkungan lebih rendah dalam hampir semua dari 10 kategori dampak, termasuk emisi gas rumah kaca, pengasaman tanah, dan pembentukan ozon. Bahkan, dalam beberapa skenario, opsi ini mengungguli bahan bakar rendah sulfur (LSFO).
Namun, penelitian ini tidak menutup mata terhadap kontroversi: air limbah scrubber—khususnya dari sistem open-loop—memang mengandung zat yang berpotensi merusak ekosistem laut. Banyak negara sudah melarang pembuangan limbah ini di pelabuhan. Tapi, jika dilihat secara menyeluruh, mulai dari proses penyulingan LSFO yang menghasilkan lebih banyak emisi, hingga biaya lingkungan jangka panjang, scrubber masih bisa menjadi opsi yang lebih berkelanjutan.
Menurut data dari Clarksons Research, jumlah kapal dengan scrubber melonjak dari hanya 243 unit pada 2020 menjadi lebih dari 7.400 kapal pada awal 2025. Ini menunjukkan bahwa industri pelayaran mulai melihat scrubber bukan sekadar solusi teknis, tapi juga bagian dari strategi keberlanjutan jangka panjang.
“Kalau ingin membuat kebijakan lingkungan, kita harus pakai data dan pendekatan ilmiah yang menyeluruh,” ujar Patricia Stathatou, asisten profesor di Georgia Tech dan penulis utama studi ini.