Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim usai menjalani pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim meminta izin kembali ke keluarga usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung (Kejagung), Selasa (15/7/2025). Permintaan itu ia sampaikan setelah sembilan jam memberi keterangan terkait dengan kasus korupsi program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek 2019-2023 yang menyeret pendiri Go-Jek tersebut.
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) belum memberikan keterangan terkait status hukum terhadap Nadiem Makarim.
“Saya baru saja selesai menjalani pemeriksaan kedua saya. Saya ingin berterimakasih sebesar-besarnya kepada pihak kejaksaan, karena memberikan saya kesempatan untuk memberikan penerangan terhadap kasus ini,” kata Nadiem usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar, Jampidsus, Kejagung, Selasa (15/7/2025).
“Terimakasih sekali lagi. Dan izinkan saya kembali ke keluarga,” kata dia menambahkan.
Pemeriksaan terhadap Nadiem ini untuk kali kedua. Sebelumnya ia pernah diperiksa pada 23 Juni 2025 lalu. Pada pemeriksaan kedua kali ini, Nadiem diperiksa lebih cepat.
Pada pemeriksaan pertama, penyidik meminta keterangan Nadiem selama 12 jam sejak pagi. Namun kali ini, penyidik memeriksa Nadiem selama sembilan jam sejak pukul 09:00 WIB sampai pas maghrib.
Akan tetapi setelah menjalani pemeriksaan kedua ini, belum diketahui apa status hukum terhadap Nadiem. Pun Nadiem tak bersedia untuk menjelaskan soal tersebut. Bahkan Nadiem, menolak untuk memberi kesempatan tanya-jawab dengan wartawan.
Pengusutan korupsi di Kemendikbudristek ini terkait dengan penggunaan anggaran Rp 9,9 triliun dalam realisasi program digitalisasi pendidikan periode 2019-2023. Salah satu yang menjadi fokus pengusutan terkait dengan pengadaan laptop chromebook.
Versi penyidikan di Jampidsus dikatakan dalam pengadaan laptop chromebook tersebut terjadi pengkondisian dengan banyak vendor penyedia barang. Karena mulanya program digitalisasi pendidikan itu menolak pengadaan laptop berbasis sistem operasi terbuka Google tersebut.