REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkembangan teknologi dalam dua dekade terakhir membuat seniman patung logam Indonesia untuk beradaptasi. Medium logam yang dahulu identik dengan kerja manual dan pendekatan tradisional kini menjadi arena baru, tempat seniman menegosiasikan ulang cara berkarya di tengah hadirnya mesin, perangkat lunak, dan sistem produksi modern.
Masuknya teknologi seperti CNC plasma, laser, dan waterjet, serta pemanfaatan CAD/CAM, mengubah cara seniman merancang dan memproduksi karya. Presisi meningkat, waktu produksi lebih efisien, dan kompleksitas bentuk dapat diperluas. Teknologi 3D printing dan milling robotik turut membuka kemungkinan eksplorasi bentuk organik yang sebelumnya sulit dicapai. Namun, adaptasi ini tidak berarti meninggalkan keterampilan lama. Keahlian las, pemahaman karakter material, dan finishing manual tetap menjadi fondasi yang menentukan kualitas artistik karya.
Perubahan ini menuntut seniman logam untuk tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga memahami bahasa teknologi. Batas antara seni dan teknik semakin cair. Robotik, sensor, hingga desain generatif masuk ke dalam praktik seni patung sebagai alat bantu sekaligus medium dialog antara sains dan ekspresi visual.
Dalam proses adaptasi tersebut, seniman logam semakin terbuka terhadap kolaborasi lintas disiplin. Kerja bersama insinyur, programmer, dan desainer industri memungkinkan lahirnya karya kinetik dan interaktif yang tidak hanya menonjolkan estetika, tetapi juga menyampaikan gagasan tentang relasi manusia, teknologi, dan perubahan sosial.
Respons terhadap isu kontemporer juga menjadi bagian dari adaptasi ini. Banyak seniman memanfaatkan logam daur ulang untuk menjawab isu keberlanjutan, menggunakan figur manusia untuk membicarakan identitas dan kolektivitas, serta bereksperimen dengan kecerdasan buatan sebagai refleksi atas dunia digital. Di Indonesia, kecenderungan ini terlihat pada praktik yang mengawinkan teknik las tradisional dengan fabrikasi modern dan perangkat digital.
Proses adaptasi tersebut tercermin dalam perjalanan kreatif Redy Rahadian, pematung kontemporer yang mulai berkarya sejak 1997. Pada fase awal kariernya (1997–2008), Redy dikenal melalui figur-figur manusia dari baja yang merepresentasikan keseharian dan daya tahan mimpi manusia. Karya-karya ini dibangun di atas fondasi teknik las yang kuat, dipengaruhi latar belakang mekaniknya.
Memasuki periode 2008–2018, Redy menunjukkan adaptasi melalui pendalaman teknis. Struktur, detail, dan komposisi logam menjadi semakin matang dan dinamis seiring keterlibatannya dalam berbagai pameran besar. Fase ini menjadi tahap penguatan bahasa visualnya.
“Saya belajar bahwa kekuatan karya bukan hanya berasal dari ide, tetapi dari bagaimana logam itu diperlakukan,” ujarnya.
Periode 2019–2025 menandai adaptasi yang lebih luas. Redy mulai berdialog dengan teknologi baru, termasuk kolaborasi dengan AI, dunia fesyen, serta penggarapan instalasi berskala besar. Ia tidak meninggalkan karakter figuratif yang telah ia bangun, tetapi mengolahnya kembali dengan pendekatan teknologi kontemporer.
“Zaman berubah, dan seniman perlu berdialog dengan teknologi tanpa kehilangan arah gagasan,” katanya.
Bagi Redy, adaptasi bukan soal mengikuti teknologi secara membuta, melainkan menjaga keseimbangan antara alat dan ide. “Teknologi membantu, tetapi ide tetap menjadi pusat,” ujarnya.
Perjalanan kreatif Redy, yang kini dirayakan melalui berbagai pameran terbaru termasuk presentasi instalasi modern di Bali, menunjukkan bagaimana seniman patung logam Indonesia beradaptasi dengan perkembangan teknologi tanpa kehilangan identitas artistik. Seni logam terus bergerak mengikuti zaman, tumbuh sebagai praktik yang memadukan sains, teknik, dan kepekaan seni dalam satu proses yang terus berevolusi.

2 hours ago
2













































