REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman krisis pangan global semakin nyata di depan mata. Data terbaru dari Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan, lebih dari 864 juta orang di dunia menghadapi kelaparan akut pada 2024. Harga pangan global melonjak tajam, bahkan di Jepang dan Filipina telah menetapkan status darurat pangan.
Selain itu, terdapat dampak perubahan iklim yang ekstrem, konflik geopolitik dunia yang tak kunjung usai, hingga tidak stabilnya harga komoditas dunia. Semua fakta tersebut perlu disikapi secara serius sebagai isu keamanan nasional.
"Meski Indonesia dinilai relatif stabil, kita tetap menghadapi masalah klasik seperti alih fungsi lahan, distribusi yang timpang, dan lemahnya posisi tawar petani," kata Brigjen Pol (Purn) Faisal Abdul Naser selaku pengamat ketahanan pangan nasional dan Chairman Executive Liaison Staff PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk di Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Menurut Faisal, tantangan itu menegaskan, ketahanan pangan bukan lagi sekadar isu pertanian atau ekonomi semata, melainkan dasar bagi stabilitas sosial-ekonomi dan kedaulatan bangsa. Dalam kondisi genting seperti sekarang, peran Polri dalam ketahanan pangan bukan hanya bersifat reaktif terhadap kriminalitas, tetapi juga proaktif dalam mendukung stabilitas dan kedaulatan pangan Indonesia.
Selain menjalankan fungsi utama dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), sambung dia, Polri memiliki peran strategis dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Faisal menyebut, Polri berperan aktif dalam penegakan hukum terhadap kejahatan sektor pangan, seperti penimbunan bahan pokok, praktik kartel, dan distribusi pupuk atau benih palsu.
Lebih dari itu, kata dia, Polri juga dapat berperan sebagai mitra pemberdaya masyarakat dengan membina petani, mendampingi distribusi pangan, dan mengamankan hasil panen. Dalam situasi darurat seperti bencana alam, Polri juga dapat membantu menyalurkan logistik pangan dan menjaga stabilitas di lapangan.
Keterlibatan dalam forum koordinasi lintas sektor di tingkat daerah menjadikan Polri sebagai bagian penting dalam menjaga ekosistem pangan nasional. "Ini sejalan dengan peran Polri sebagaimana yang tertuang dalam Tribrata dan Catur Prasetya sebagai Ruh Polri. Keduanya bukan hanya slogan, tetapi seharusnya menjadi pedoman hidup dan etos kerja personel Polri," ucap Faisal.
Dia menilai, Polri telah menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung swasembada pangan nasional. Salah satu langkah konkretnya adalah pelepasan ekspor 1.200 ton jagung ke Serawak, Malaysia, yang merupakan bagian dari panen raya jagung kuartal kedua 2025. Panen raya di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, yang dipimpin langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto menjadi simbol kebangkitan pertanian berbasis kolaborasi antara Polri dan masyarakat.
Tidak berhenti sampai di situ, Polri juga menginisiasi pembangunan 18 gudang penyimpanan di 12 provinsi dengan total kapasitas 18 ribu ton. Semua gudang yang dibangun bekerja sama dengan Bulog, memiliki kapasitas gudang hingga 5.000 ton dan mampu mengolah hingga ratusan ton jagung per hari. "Inisiatif ini sangat vital untuk memperlancar distribusi dan penyerapan hasil panen, memastikan ketersediaan pangan di seluruh pelosok negeri," ujar Faisal.
Selanjutnya yang perlu dicermati adalah perlunya membangun ekosistem pangan yang tangguh, dari hulu hingga ke hilir. Menurut Faisal, ketahanan pangan nasional tidak hanya ditentukan oleh hasil panen dan produksi ternak.
"Peternakan nasional, misalnya, masih menghadapi tantangan sistemik seperti keterbatasan pakan lokal, pembibitan berkualitas rendah, dan lemahnya sistem distribusi. Rantai pasok pangan terganggu bukan hanya oleh alam, tapi oleh ulah mafia pangan dan spekulan. Dibutuhkan pendekatan terintegrasi dari hulu hingga hilir," kata Faisal.