REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara (PKAEN) bersama Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta mengungkap kompleksitas gerakan boikot produk yang diasosiasikan dengan Israel di Indonesia.
Penelitian yang melibatkan 810 responden dari empat kota yaitu Yogyakarta, Lombok, Pekanbaru, dan Bandung menghasilkan temuan signifikan. Sebanyak 35,4 persen responden menyatakan dukungan terhadap aksi boikot, dengan 43 persen mengungkapkan motif kemanusiaan sebagai alasan utama.
Namun, survei ini juga mengungkap dampak yang lebih luas. Mayoritas responden (80 persen) mengakui bahwa aksi boikot berdampak serius terhadap pekerja, sementara 72 persen melihat pengaruhnya pada perusahaan. Salah satu contoh konkret adalah jaringan restoran cepat saji yang mengalami penurunan signifikan, dengan penutupan 47 gerai dan pengurangan tenaga kerja sebanyak 2.274 orang.
Direktur PKAEN, Edo Segara, menekankan bahwa dampak boikot melampaui sekadar ekonomi. "Boikot tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga menyentuh ranah sosial dan psikologis," ujarnya pekan lalu. Dia mencatat potensi membangun solidaritas keagamaan, namun juga memperingatkan risiko ketegangan sosial dan perpecahan.
Dr M. Muslich dari PS2PM menggarisbawahi perlunya kejelasan dalam aksi boikot. "Dibutuhkan kajian lanjutan dan tindakan dari organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk memberikan pemahaman yang tepat," katanya.
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dinilai memiliki peran strategis dalam memberikan pencerahan dan perspektif kritis terkait isu boikot produk terafiliasi Israel. Sebanyak 85,2 persen responden sendiri menekankan pentingnya verifikasi informasi sebelum melakukan aksi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 menjadi titik tolak gerakan ini.
Namun, para peneliti memperingatkan adanya potensi penyalahgunaan fatwa untuk kepentingan bisnis yang tidak etis.
Ketua MUI DIY, Prof Machasin menegaskan bahwa gerakan boikot sebagai bentuk dukungan moral terhadap Palestina perlu disertai informasi akurat dari lembaga resmi. Tujuannya adalah mencegah dampak negatif yang tidak diinginkan bagi masyarakat Indonesia.
Para ahli sepakat bahwa gerakan boikot membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif yaitu dengan edukasi, transparansi, dan koordinasi antara ulama, pemerintah, asosiasi industri, dan masyarakat sipil.