Ancaman Mengintai Jika Harga Minyak Meroket: Defisit APBN Makin Parah Hingga Inflasi

6 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang terbuka antara Iran dan Israel –yang kini melibatkan Amerika Serikat (AS)- dinilai menjadi alarm serius bagi Indonesia, menurut Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi. Terutama mengenai dampak terhadap komoditas minyak yang berpotensi terus meroket, dan pada akhirnya membebani kondisi fiskal Indonesia.

Syafruddin menerangkan kondisi genting yang terjadi di tengah perang Iran-Israel saat ini. Saat Presiden Trump mengonfirmasi serangan udara terhadap situs nuklir Iran, termasuk penghancuran fasilitas Fordow, eskalasi konflik berubah drastis dari serangan regional menjadi pertarungan terbuka antara kekuatan global.

Ia menilai, Indonesia tidak boleh menonton dalam diam. Ketika AS mengerahkan B-2 bomber untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, dampaknya tak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Menurutnya, dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Indonesia harus segera bertindak. Tidak sekedar membuat pernyataan yang normatif. Salah satunya adalah mengenai langkah strategis dalam menghadapi potensi meroketnya harga minyak.

“Presiden dan jajaran ekonomi harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia. Ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak menembus 100 dolar AS per barel. Menunda revisi kebijakan subsidi energi hanya akan memperparah defisit APBN,” kata Syafruddin dalam keterangannya, dikutip Senin (23/6/2025).

Di samping itu, Syafruddin juga berpendapat, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan harus memperkuat koordinasi stabilitas rupiah. Sebab, ada potensi aliran modal keluar yang bakal menekan Mata Uang Garuda.

“Potensi capital outflow akibat gejolak global bisa menekan nilai tukar dan mengerek inflasi. Intervensi moneter harus disertai penajaman komunikasi kebijakan agar pasar tetap tenang,” ujar dia.

Jalur Diplomasi

Secara politis, untuk mengantisipasi dampak yang lebih dalam ke depan, Syafruddin memandang perlunya Pemerintah Indonesia untuk segera menghidupkan jalur diplomasi Selatan-Selatan, terutama melalui G77 dan OKI. Ketidakhadiran suara kolektif Global South dalam krisis tersebut dinilai memperparah dominasi narasi geopolitik oleh blok G7, yang nyaris tanpa kritik terhadap agresi Israel.

“Indonesia, dengan rekam jejaknya sebagai pemimpin negara berkembang dan pendukung kemerdekaan Palestina, harus memimpin inisiatif diplomatik untuk mengakhiri kekerasan dan menuntut penghormatan terhadap hukum internasional,” ungkapnya.

Ia berpendapat, saat dunia terbelah antara pihak yang memproduksi kekacauan dan pihak yang terkena dampaknya, Indonesia harus berpihak pada stabilitas dan keadilan global. Tindakan lamban hanya akan memperbesar kerentanan bagi Indonesia sendiri.

“Perang yang dimulai dari Tel Aviv dan Teheran bisa berdampak hingga pasar minyak, nilai tukar, hingga kantong rakyat Indonesia. Maka, ketegasan diplomatik dan kesiapan ekonomi bukan pilihan, tapi keniscayaan,” tegasnya. 

Read Entire Article
Politics | | | |