Bekam di Indonesia, Antara Tradisi dan Sains

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Subadi (Guru Besar Bidang Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Universitas Airlangga)

Bekam (hijama) telah dipraktikkan sejak ribuan tahun dalam berbagai budaya, termasuk di Timur Tengah, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Di Indonesia, bekam semakin populer sebagai terapi komplementer untuk berbagai kondisi, mulai dari nyeri muskuloskeletal hingga gangguan metabolik. Namun, statusnya masih sering dipertanyakan dari sudut pandang kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine/EBM).

Dengan semakin banyaknya penelitian ilmiah tentang bekam, sudah saatnya praktik ini tidak hanya dianggap sebagai pengobatan alternatif, tetapi juga terintegrasi ke dalam tata laksana medis formal, khususnya di bidang Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) atau Rehabilitasi Medik.

Antara Tradisi dan Sains

Di Indonesia, bekam berkembang pesat seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap pengobatan tradisional dan integratif. Klinik-klinik bekam bermunculan, baik yang dikelola oleh terapis tradisional maupun tenaga kesehatan. Namun, belum ada standar baku yang mengatur praktik bekam secara medis, sehingga kualitas dan keamanannya sangat bervariasi.

Ada beberapa tantangan dalam pengembangan bekam di Indonesia. Pertama, variasi teknik dan kurangnya standarisasi. Ada berbagai metode bekam (basah, kering, flash cupping), tetapi tidak semua didukung protokol jelas.

Kedua, risiko infeksi dan efek samping. Jika tidak dilakukan dengan steril, bekam dapat menyebabkan infeksi kulit, luka, bahkan penularan penyakit. Klaim terlalu luas tanpa bukti kuat. Sebagian praktisi mengklaim bekam bisa menyembuhkan berbagai penyakit, padahal belum semua klaim tersebut didukung penelitian kuat.

Namun, di sisi lain, penelitian terkini menunjukkan bahwa bekam memiliki manfaat potensial, terutama dalam manajemen nyeri, peradangan kronis, dan sirkulasi darah. Oleh karena itu, perlu pendekatan berbasis bukti untuk memastikan bekam dapat digunakan secara aman dan efektif dalam pelayanan kesehatan formal.

Bekam dalam Konteks Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

Bekam dapat menjadi modalitas terapi yang relevan dalam KFR karena mempunyai beberapa hal, seperti efek analfesik, perbaikan sirkulasi darah, dan modulasi inflamasi. Berdasarkan literasi, bekam dapat digunakan sebagai terapi komplementer dalam KFR untuk terapi adjuvan atau tambahan pada manajemen nyeri kronis. Selain itu, juga dapat digunakan untuk rehabilitasi pasca stroke maupun pemulihan cedera olahraga, kombinasi dengan berbagai terapi yang lain, seperti terapi latihan dan modalitas.

Dalam pelaksanaannya, penting dipertimbangkan keamanan bagi pasien. Harus dipastikan bahwa tidak ada kontraindikasi pada kondisi pasien yang akan dibekam. Patut diperhatikan dalam proses di awal sebelum dilakukan bekam, seperti pentingnya informed consent, juga terkait sterilitas dari alatnya.

Semua hal yang dilakukan, layaknya tindakan medis, harus sesuai SOP. Dengan dasar ini, bekam seharusnya tidak lagi dipandang sebagai terapi alternatif semata, tetapi sebagai bagian dari pendekatan multimodal dalam rehabilitasi medis.

Menuju Bekam Berbasis Evidens dan Berstandar Medis

Agar bekam dapat diintegrasikan ke dalam praktik klinis, beberapa langkah perlu dilakukan, seperti penyusunan panduan klinis (clinical guidelines) berbasis bukti. Hal ini penting, karena harus ada pedoman resmi yang mengatur indikasi, kontraindikasi, teknik, dan monitoring efek samping bekam supaya dapat dijadikan salah satu terapi.

Selanjutnya, dibutuhkan pelatihan dan sertifikasi dari institusi resmi bagi tenaga medis untuk keterampilan bekam ini. Dokter dan terapis yang akan melakukan tindakan bekam perlu mendapatkan pelatihan formal tentang bekam medis. Termasuk berbagai aspek yang perlu diketahui, dokter dan terapis harus mendapatkan pelatihan formal tentang bekam medis, termasuk aspek sterilisasi, anatomi, dan manajemen komplikasi.

Langkah ketiga adalah, penelitian lanjutan berupa uji non klinis maupun uji klinis, karena masih sedikit penelitian terkait bekam medis. Perlu dipertimbangkan, penelitian yang juga membandingkan dengan modalitas lain yang sudah banyak dipakai dalam bidang KFR dan yang terkait dengan mekanisme tingkat molekuler.

Paralel dengan semua langkat tersebut, bisa direkomendasikan bekam medis ini diintegrasikan dalam skema pelayanan sistem kesehatan nasional. BPJS Kesehatan bisa mempertimbangkan cakupan untuk modalitas bekam jika sudah ada bukti kuat, terutama terkait cost-effetivenerss.

Bekam memiliki potensi besar sebagai terapi komplementer berbasis bukti jika dikembangkan dengan pendekatan ilmiah. Dengan standardisasi, pelatihan tenaga medis, dan penelitian lebih lanjut, bekam dapat menjadi bagian dari tata laksana di bidang Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.

Langkah ini tidak hanya meningkatkan kredibilitas bekam, tetapi juga memastikan masyarakat mendapatkan terapi yang aman, efektif, dan terukur. Sudah waktunya bekam tidak lagi sekadar warisan tradisi, tetapi menjadi modalitas medis yang diakui dalam dunia kedokteran modern.

Read Entire Article
Politics | | | |