Bencana Sumatera, Momentum Evaluasi UU Cipta Kerja  

2 hours ago 4

Oleh : Parid Ridwanuddin, Anggota Bidang Politik Sumber Daya Alam, LHKP PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak lama berselang setelah perhelatan COP 30 di Belem, Brazil, banjir dan longsor telah memporak porandakan lebih dari setengah Pulau Sumatera, khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Sampai dengan 20 Desember 2025, BNPB mencatat jumlah korban meninggal sebanyak 1.071 orang. Adapun korban hilang saat ini tercatat 185 orang.

Perlu ditegaskan bahwa ini bukan bencana alam, tetapi petaka atau bencana ekologis yang dipicu oleh hancurnya bentang alam Sumatera dalam beberapa tahun terakhir, terutama hutan tropis yang telah diubah untuk melayani kepentingan ekspansi Perkebunan kelapa sawit skala besar dan beragam industri ekstraktif lainnya.  

Terkait dengan deforestasi di Sumatera, data Map Biomas Indonesia menyebut bahwa sebelum Oktober 2024, laju deforestasi di Aceh di bawah 10.000 hektare. Namun dalam kurun waktu 10 bulan terakhir, luasannya bertambah menjadi 30.000 hektar. Hal serupa, terjadi juga di Sumatera Barat, dimana provinsi ini menempati peringkat keempat laju deforestasinya.

Sementara itu, Sumatera Utara mengalami deforestasi seluas 17.000 – 18.000 hektar dalam 10 bulan pertama di tahun 2025. Padahal, pada tahun 2024, deforestasi provinsi ini seluas 7000 hektar.

Data-data tersebut menjelaskan satu hal, yaitu telah terjadi peningkatan tiga kali lipat deforestasi hanya dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Hilangnya hutan dalam skala besar, sangat terkait, khususnya dengan perluasan Perkebunan kelapa sawit. Situasi ini tentu patut membuat masyarakat Indonesia marah, karena bencana ini terjadi tak lama berselang setelah pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya terhadap tata kelola hutan yang berintegritas, inklusif, dan berkelanjutan, dalam forum COP30 di Brazil. 

Evaluasi UU Cipta Kerja

Pertanyaan selanjutnya, apa yang membuat hutan di tiga provinsi diatas begitu cepat hilang dalam satu tahun terakhir? Jawabannya adalah Undang-undang Cipta Kerja. UU yang pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2021 sebagai inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam dua tahun, ternyata malah diteruskan menjadi UU No. 6 Tahun 2023.

Dalam konteks kehutanan, UU Cipta Kerja menghilangkan batas minimal luasan hutan 30 persen dari luas daratan, sebagaimana terdapat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 18 ayat 2 UU Cipta Kerja dengan tegas menghapus batas minimal luasan hutan itu. Artinya, setiap wilayah tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan luasan hutan yang tersisa. Lebih jauh, UU Cipta Kerja melegalkan eksploitasi hutan lindung untuk kepentingan investasi.

Terkait dengan kepentingan perkebunan sawit, UU Cipta Kerja dinilai memberikan karpet merah bagi ekspansi Perkebunan kelapa sawit skala besar untuk terus membabat hutan tropis yang tersisa, utamanya di sejumlah provinsi yang kaya dengan hutan alam, seperti Papua.

Dalam hal tata ruang, UU Cipta Kerja telah melumpuhkan wewenang pemerintah daerah. Pasal 11 menyebutkan bahwa wewenang pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pasal tersebut menjelaskan bahwa penataan ruang nasional semakin jauh dari kepentingan masyarakat yang hidup di berbagai wilayah di Indonesia.

Belajar dari bencana Sumatera, saatnya UU Cipta Kerja perlu dievaluasi secara total, bakan dicabut. Jika tidak, Indonesia akan terus menghadapi bencana ekologis dan petaka yang maha dahsyat pada masa yang akan datang karena berbagai kerusakan lingkungan dilegalkan oleh UU Cipta Kerja.

Belajar dari bencana Sumatera, saat kita juga melihat hutan sebagai critical natural capital, yang bermakna bahwa hutan itu bernilai tinggi, penting bagi kesehatan manusia, penting bagi berfungsinya sistem pendukung kehidupan secara efisien, dan tak dapat digantikan untuk semua tujuan praktis. Dengan perspektif tersebut, hutan tropis Indonesia harus diselamatkan dari ancaman kerusakan karena sangat penting bagi kehidupan masyarakat, memiliki nilai yang sangat tinggi, oleh karena itu tak dapat digantikan oleh apapun.  

Read Entire Article
Politics | | | |