‘Berbalas Devisa’ dari Jazirah Arab untuk Optimalisasi Ekonomi Syariah

2 hours ago 5

Oleh : Marini Sayuti, Analis Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia sudah lama menjadi pengirim Jamaah haji dan umrah terbesar ke Arab Saudi. Tidak hanya dalam jumlah Jamaah yang berangkat, tetapi juga dalam skala ekonomi yang dihasilkan di Tanah Suci. Ekosistem ini bukan hanya rangkaian perjalanan ibadah haji dan umrah, melainkan industri besar yang menyentuh 60 kategori KBLI yang meliputi jasa transportasi, penginapan, konsumsi, Kesehatan, teknologi informasi, keuangan syariah, logistic, hingga industri halal.

Setiap lapisan memiliki nilai ekonomi yang besar dan peluang untuk dioptimalkan. Namun selama puluhan tahun, tidak satu pun lembaga yang mampu mengatur ekosistem ini secara menyeluruh.

Dari Tanah Suci ke Kampung Haji: Ekosistem Ekonomi yang Lebih dari Sekadar Tempat Transit

Untuk pertama kalinya, Indonesia dapat memiliki peta ekonomi jamaah yang utuh. Bagi Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj)—yang kini diberi mandat besar melalui UU No. 14/2025 untuk menata ulang seluruh ekosistem haji—data ini menjadi pondasi dalam perumusan kebijakan. Bagi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), data tersebut berfungsi sebagai dasar dalam mengambil keputusan investasi strategis, termasuk pengembangan Kampung Haji Indonesia di Makkah. Dan bagi industri halal, data ini membuka peluang baru untuk memperluas penetrasi produk Indonesia di pasar Saudi yang selama ini sulit ditembus.

Potensi ekonomi dari kegiatan haji dan umrah diproyeksikan meningkat dari sekitar Rp 65 Triliun pada 2023 menjadi hampir Rp 194 Triliun pada 2030, seiring dengan perubahan kebijakan Saudi Vision 2030. Angka ini menunjukkan bahwa setiap tahun jamaah Indonesia menggerakkan ekonomi besar yang menyentuh berbagai sektor:penerbangan, akomodasi, transportasi, catering, hingga layanan logistic. Namun dalam arus uang sebesar itu, Indonesia sebenarnya hanya menikmati sedikit sekali nilai tambah.

Sebagian besar belanja jamaah justru mengalir sebagai outward spending: pembelian kebutuhan di Arab Saudi, pembayaran hotel asing, transportasi lokal, katering non-Indonesia, dan rentetan transaksi kecil yang selama ini dianggap sepele tetapi dalam skala jutaan jamaah menjadi angka yang sangat besar. Dalam berbagai koordinasi lintas Kementerian/Lembaga, KNEKS dan BPKH, disebutkan bahwa hanya 25 hingga 35 persen dari total belanja jamaah yang kembali ke ekonomi Indonesia.

Sisanya hilang, menguap di Tanah Suci tanpa jejak yang bisa dipetakan secara sistematis. Posisi kita lebih mirip sebagai pembawa uang tunai raksasa ketimbang pemain dalam ekosistem digital dan finansial yang mengiringi mobilitas ibadah tersebut. Inilah pendorong kuat di balik gagasan kampung haji agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen jasa, tetapi juga produsen dan penyedia layanan utama.

Kampung Haji Indonesia merupakan gagasan besar Presiden Prabowo yang menjadi bagian dari agenda transformasi tata kelola haji yang sedang dijalankan pemerintah. Proyek ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi ekosistem terpadu yang menyatukan layanan akomodasi, konsumsi, logistik, kesehatan, bimbingan ibadah, hingga pusat ekonomi untuk UMKM dan produk halal Indonesia. Dalam dokumen transformasi ekosistem haji, Kampung Haji ditempatkan sebagai salah satu simpul penting untuk mengembalikan nilai ekonomi haji ke tanah air.

Kesadaran akan pentingnya kampung haji muncul dari tingginya perjalanan haji dan umrah dalam kelompok besar dan berulang setiap tahunnya, bahwa ada kebutuhan nyata untuk meningkatkan kualitas layanan, mengurangi biaya jamaah, dan menambah nilai tambah ekonomi yang bisa kembali ke Indonesia. Dengan posisi aset yang strategis tersebut, Indonesia tidak hanya bisa menyediakan tempat tinggal bagi jamaah, tetapi juga mengendalikan berbagai layanan yang selama ini sepenuhnya dikelola pihak lain.

Apa artinya semua ini? Ketika sebuah negara mulai memiliki infrastruktur pelayanan jamaah seperti hotel berkapasitas besar, fasilitas katering, layanan kesehatan, serta pusat komersial yang terintegrasi, negara tersebut berubah posisi dari pihak yang hanya mengirim jamaah menjadi pemain dalam rantai nilai ekonomi global. Indonesia kini sedang berada dalam fase transisi itu.

Baru-baru ini, Danantara Indonesia-melalui Danantara Investment Management-mengakuisisi Novotel Makkah Thakher City, sebuah hotel premium dengan kapasitas 1.461 kamar yang terletak sekitar 2,5 kilometer dari Masjidil Haram, lengkap dengan 14 bidang tanah seluas ±4,4 hektare yang siap dikembangkan menjadi fasilitas layanan Jamaah yang lebih luas. Rencana pengembangan Kawasan ini menargetkan total kapasitas mencapai 5.000 kamar hotel secara bertahap, termasuk fasilitas ritel dan pendukung lainnya.

Langkah ini bukan sekedar pembelian aset hotel, tetapi merupakan pijakan awal Indonesia dalam membangun infrastruktur hospitality dan layanan jamaan di kota suci yang paling strategis. Danantara, melalui investasi awal ini, membuka sebuah ruang baru bagi Indonesia untuk membangun skala layanan yang tinggi, mengurangi kebocoran biaya layanan haji di pihak ketiga, dan menguatkan posisi jasa Indonesia di panggung internasional. Ini berbicara tentang visi jangka panjang: bahwa layanan haji bukan hanya soal ritual, tetapi juga soal bagaimana negara memanfaatkan mobilitas manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam konteks ini, kampung haji Indonesia berpotensi menjadi hub ekonomi halal yang terintegrasi, di mana produk dan layanan dari tanah air bisa langsung dipasarkan kepada Jamaah dan komunitas lokal. Berdasarkan data yang diolah oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) bahwa sektor halal value chain-yang mencakup makanan halal, fesyen muslim, pariwisata ramah muslim, dan pertanian-telah menjadi penopang ekonomi nasional, dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto mencapai 26,73 persen pada kuartal kedua 2025. Total sertifikat halal yang diterbitkan juga terus meningkat dengan lebih dari 2,8 juta sertifikat.

Ini mencerminkan kapasitas Indonesia untuk menyediakan produk halal yang tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga siap bersaing di pasar global. Dalam konteks ekspor, data menunjukan tren positif nilai ekspor produk halal Indonesia yang mencapai USD 51,4 miliar pada 2024, yang didominasi oleh sektor makanan dan minuman halal. Dengan demikian, kampung haji bukan hanya tempat tinggal sementara, tetapi jembatan perdagangan halal antara Indonesia dan pasar Arab Saudi.

QRIS di Tanah Suci adalah Strategi Ekonomi, Bukan Sekadar Teknologi

Ketika Gubernur Bank Indonesia mengumumkan bahwa QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard akan segera digunakan di Jepang pada 17 Agustus, lalu disusul Tiongkok dan Arab Saudi, sebagian besar masyarakat mungkin melihatnya sebagai kabar teknis mengenai kemudahan pembayaran lintas negara. Namun kabar yang tampak sederhana itu sebenarnya membuka diskusi jauh lebih mendalam mengenai posisi Indonesia dalam ekosistem keuangan global, terutama dalam konteks ibadah haji dan umrah yang setiap tahun menggerakkan jutaan warga negara dan triliunan rupiah devisa.

Di titik ini QRIS lintas negara membawa harapan baru. Munculnya QRIS lintas negara, terutama ketika implementasinya merambah ke Arab Saudi, mengubah cara kita melihat alur ekonomi ini. Bagi kebanyakan orang, QRIS hanya dipahami sebagai metode pembayaran praktis. Namun dalam ekosistem haji global, QRIS adalah instrumen strategis untuk memperbaiki arsitektur ekonomi yang selama puluhan tahun tidak berpihak pada Indonesia.

Selama bertahun-tahun, jamaah Indonesia harus membeli Riyal di Tanah Air, menanggung spread kurs yang cukup besar, atau membawa uang tunai dalam jumlah besar yang sering menimbulkan kekhawatiran. Di tengah kerumunan jutaan jamaah, kehilangan uang tunai menjadi risiko yang nyata. QRIS memotong jalur panjang itu.

Efisiensi ini bukan hanya menghemat biaya individual jamaah, tetapi juga mengurangi kebocoran-kebocoran kecil yang selama ini tersebar di jutaan transaksi harian. Setiap rupiah yang dikonversi melalui sistem resmi memberikan stabilitas dan transparansi, sebuah faktor penting dalam pengelolaan devisa nasional. Bahkan secara tidak langsung, langkah ini melindungi jamaah dari risiko kriminalitas dan praktik pertukaran informal yang selama ini masih terjadi, termasuk penggunaan jaringan hawala yang rawan penipuan.

Namun langkah ini sekaligus menantang dominasi pemain asing dalam industri pembayaran lintas negara. Menurut data UmrahCash, lebih dari 85 persen layanan fintech yang beroperasi di Arab Saudi berasal dari negara maju, sementara emerging markets seperti Indonesia nyaris tidak memiliki posisi signifikan. Padahal, justru negara-negara seperti Indonesia yang menjadi pengguna utama layanan keuangan dalam konteks ibadah haji dan umrah. Dengan demikian QRIS bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi sebuah reposisi geopolitik ekonomi syariah: Indonesia mulai menempatkan diri sebagai penyedia layanan, bukan sekadar pengguna.

Jika langkah ini dimanfaatkan dengan maksimal, Indonesia tidak lagi hanya mengirim jamaah, tetapi juga mengirim teknologi, inovasi, dan nilai tambah. Dari Tanah Suci hingga kampung-kampung haji, QRIS menjadi tonggak penting dalam transformasi ekonomi syariah kita: lebih modern, lebih inklusif, dan lebih berdaya saing. Sebuah perubahan kecil di layar ponsel yang membawa konsekuensi besar bagi masa depan ekonomi Indonesia.

Read Entire Article
Politics | | | |