Catatan Cak AT: Aktivis Rasa Kerupuk

1 hour ago 1
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Aktivis Rasa Kerupuk. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pagi itu, halaman Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda Metro Jaya terasa lebih tebal dari biasanya. Magda Antista, ibu dari Delpedro Marhaen, memeluk erat akademisi Bivitri Susanti.

Ada tangis, ada dukungan, ada getaran yang membuat kamera wartawan memburu sudut paling dramatis.

Adegan itu seperti menunggu musik latar sinetron: pelukan ibu, keteguhan intelektual, dan jeruji besi yang tak bisa dipeluk.

Sehari sebelumnya (9 September 2025), panggung yang sama juga kedatangan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Ia bukan tamu keluarga yang datang dengan langkah pelan, melainkan profesor hukum dan politisi kawakan.

Baca juga: Menyentuh, Ini Pesan Lengkap Sekjen PBB di Hari Perdamaian Internasional

Begitu berbicara, ia melontarkan satu kata kunci yang membuat jagat maya gaduh bak pasar malam: _gentleman_. "Pejuang sejati harus bertindak gentleman. Langkah hukum, hadapi juga dengan langkah hukum," lanjut Yusril di media sosial.

Pesannya jelas: jadi aktivis jangan layu seperti kerupuk kena angin. Tapi kata _gentleman_ ini kadang mirip nasi goreng kaki lima: bisa ditafsir macam-macam. Ada yang menyantapnya dengan lahap, ada yang protes karena kecapnya kebanyakan.

Delpedro ditangkap polisi pada malam hari, Senin 1 September 2025, di kantor Lokataru Foundation. Ia pun diperiksa sebagai tersangka melakukan ajakan atau provokasi massa untuk berdemo, dengan menyebarkan berita bohong lewat media sosial.

Polisi menyatakan, semua proses dilakukan berdasarkan fakta dan bukti, bahwa penyidik bekerja secara profesional dan proporsional. Namun, Tim Advokasi Lokataru menyebut ada kejanggalan prosedural, seperti kurangnya pemanggilan atau pemeriksaan awal.

Baca juga: Jokowi Jangan Merasa Penentu Presiden dan Wapres 2029

Netizen pun riuh menanggapi pernyataan Yusril. Ada yang bersorak, "Kalau merasa benar, hadapi di pengadilan!" Ada juga yang menyindir, "Gentleman macam apa kalau ring tinjunya miring sebelah?"

Yusril sendiri tak berhenti di satu kalimat. Ia memberi kuliah gratis, lengkap dengan contoh sejarah. Bung Karno, katanya, paham pengadilan kolonial tidak adil, tapi tetap maju dengan pledoi _Indonesia Menggugat_.

"Apa anda kira Bung Karno begitu dungu hingga tak paham pengadilan kolonial itu bias?" tanya Yusril. Tokoh-tokoh Orde Baru juga tahu vonis bisa dipelintir, tapi tetap masuk ring, bukan kabur ke pasar malam.

Perumpamaannya makin berwarna. Advokat, kata Yusril, bukan pembalap Formula 1 di lintasan mulus, melainkan pengemudi 4WD di tebing terjal: berlumpur, licin, kadang tanpa jalan sama sekali. Intinya: jangan manja, jangan minta jalan tol, jangan cari pintasan. Hadapi!

Baca juga: Battle Zone, Upaya Merawat Kesejarahan Tubuh dalam Pementasan Tari

Sebagai penutup kuliahnya, Yusril menohok lebih keras. Ia tidak menaruh hormat pada aktivis yang berteriak "Tangkap si A, penjarakan si B!" tetapi ketika dirinya dipanggil, buru-buru minta deponering dengan alasan kriminalisasi. "Lebih buruk lagi kalau begitu," ujarnya.

Publik pun terbelah. Pengagum Yusril memberi tepuk tangan virtual: "Top markotop, Pak Profesor!" Para pengkritik justru geleng kepala: "Bagaimana mau gentle kalau wasit ikut main, penonton dibayar, aturan lomba berubah tiap lima menit?"

Di titik inilah Bivitri muncul sebagai penyeimbang. Dengan gaya akademis, ia mengingatkan: hukum itu tidak netral. Dalam politik hari ini, hukum kerap menjadi palu kekuasaan.

Saran Yusril mungkin indah di ruang kuliah, tapi getir di ruang tahanan. "Ya tentu, kita akan hadapi proses hukum," kata Bivitri, "tapi jangan pura-pura lupa siapa yang pegang panggung."

Baca juga: Rural ICT Camp 2025: Internet Komunitas dan Akses yang Bermakna

-000-

Sejarah memang menyimpan teladan tentang keberanian menghadapi hukum. Tahun 1930, Soekarno berdiri di hadapan hakim kolonial Belanda. Ia tahu vonis sudah digariskan, sadar pengadilan tidak pernah netral.

Namun ia hadir dengan dada tegak, membacakan pledoi panjang yang ditulis tangan, menjadikannya manifesto perjuangan bangsa. Ia datang bukan mencari keringanan, melainkan menunjukkan martabat seorang pemimpin: berani menghadapi hukum, sekalipun timpang.

Di Afrika Selatan, Nelson Mandela mengulang pelajaran itu. Dalam _Rivonia Trial_ tahun 1964, di hadapan hakim kulit putih yang siap menjatuhkan hukuman mati, ia berkata tenang: "Saya siap mati demi cita-cita ini."

Ia tidak kabur, tidak meminta suaka, padahal kesempatan terbuka. Mandela memilih penjara dengan kepala tegak, menjadikan ruang sidang sebagai panggung moral. Puluhan tahun kemudian, ia keluar bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai presiden.

Baca juga: Data Kependudukan Bersih 2025, Tercatat Jumlah Penduduk Depok 3 Juta Jiwa

Di Malaysia, Anwar Ibrahim mengalami berkali-kali tuduhan politik. Ia dipenjara, diadili, digiring ke persidangan yang jauh dari netral. Tetapi ia tidak lari. Ia menulis dari balik jeruji, kembali ke gelanggang, hingga akhirnya menjadi Perdana Menteri. Martabatnya lahir bukan di panggung kampanye, melainkan di kursi pesakitan.

Amerika Serikat pun punya cerita. Richard Nixon, terjepit skandal Watergate, memilih mundur demi menyelamatkan demokrasi dari krisis lebih dalam. John McCain, meski bukan terdakwa, dalam panasnya kampanye berani menegaskan lawannya—Barack Obama—bukan orang jahat. Itu cara lain menunjukkan bahwa bahkan dalam pertarungan, ada etika yang tak boleh dilepas.

Indonesia sendiri punya Gus Dur. Saat diterpa kasus Buloggate dan Bruneigate, ia bisa saja mengerahkan massa. Tetapi ia memilih menghadapi sidang, berargumen, dan akhirnya menerima kenyataan politik yang membuatnya lengser. Ia turun tanpa pertumpahan darah, dengan kepala tegak.

Semua kisah ini menegaskan satu hal: gentleman dalam hukum bukan berarti selalu menang, melainkan berani hadir. Tidak kabur, tidak sembunyi, tidak menjadikan massa sebagai tameng. Bung Karno di Batavia, Mandela di Pretoria, Anwar di Kuala Lumpur, Nixon di Washington, Gus Dur di Jakarta—semuanya menunjukkan martabat pemimpin diuji bukan saat dielu-elukan, melainkan saat duduk di kursi pesakitan.

Baca juga: Inggris, Kanada dan Australia Akui Negara Palestina, Sekjen GCC: Ini Bersejarah

-000-

Sementara itu, ibu Delpedro tetap menangis, netizen tetap ribut, polisi tetap membacakan pasal, advokat tetap menenteng KUHAP bagai kitab suci. Dan Yusril? Ia berdiri di tengah, bagai komentator sepak bola yang yakin dirinya lebih paham strategi ketimbang pemain di lapangan.

Akhirnya, drama ini bergulir seperti komedi tragis. Yusril berbicara tentang gentleman melawan hukum, Bivitri mengingatkan hukum bukan panggung netral, Delpedro bersikeras tak bersalah, rakyat menonton sambil mengunyah gorengan. Ada yang serius, ada yang sinis, ada yang sekadar tertawa.

Begitulah: tragedi bisa berubah jadi komedi, tangis ibu bisa jadi simbol politik, kata "gentleman" bisa menjelma meme, dan hukum bisa menjelma panggung stand-up comedy paling laris di negeri ini. Justru di situlah pelajaran: di tengah absurditas, kadang kita memang hanya bisa tertawa. Kalau tidak, mungkin kita sudah gila.

-000-

Sikap seorang _gentleman_ dalam menghadapi hukum bukanlah perkara sekadar berani atau pasrah, melainkan soal memelihara martabat. Ia tahu, hukum tidak selalu hadir dalam wajah ideal yang menjunjung keadilan murni. Kadang ia lahir dari kompromi, bahkan dari keberpihakan.

Baca juga: Catatan Cak AT: Dari IKN ke IKP

Namun, seorang gentleman memilih untuk tidak merendahkan dirinya dengan tipu-daya, pelarian, atau sekadar mencari celah untuk lolos. Ia menghadapi proses hukum sebagaimana seorang kesatria menatap lawan di medan laga: dengan kepala tegak, tanpa kehilangan adab.

Baginya, hukum adalah arena untuk menguji integritas, bukan sekadar ajang menang-kalah. Ketika ia benar, ia bersuara lantang dengan bukti dan argumentasi, tanpa harus menindas atau menghardik.

Dan ketika ternyata salah, ia tidak lantas jatuh hina dengan pembelaan yang mengada-ada, melainkan mengakui dan menanggung akibatnya. Di situlah kemuliaannya: kesanggupan menerima konsekuensi tanpa kehilangan harga diri.

Gentleman bukan berarti tunduk buta pada aturan, melainkan tegak menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kritik dan kepatuhan.

Baca juga: PLN Icon Plus Gaungkan Transformasi Digital Hijau Indonesia

Ia bisa menantang hukum yang bengkok, namun tetap menggunakan jalan hukum itu sendiri, bukan dengan cara yang licik. Ia bisa menggugat, membela, bahkan melawan, tapi tanpa menjatuhkan derajatnya sendiri ke dalam lumpur kebencian atau dendam.

Maka, dalam wajah hukum yang kerap abu-abu ini, seorang gentleman justru hadir sebagai cahaya. Ia memberi teladan bahwa menghadapi hukum bukan soal lari atau menyerang, melainkan soal berdiri teguh dengan penuh keberanian dan kehormatan.

Karena pada akhirnya, martabatlah yang menjadi penentu, bukan sekadar vonis di atas kertas. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 23/9/2025

Read Entire Article
Politics | | | |