Geopolitik Global Mengguncang, Indonesia Didorong Percepat Transisi Energi

5 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah peneliti berharap perubahan kebijakan iklim Amerika Serikat (AS) yang dijalankan oleh Presiden Donald Trump, termasuk mundur dari Perjanjian Paris, tidak menyurutkan komitmen transisi energi Indonesia. Beberapa negara, baik di kawasan Asia maupun global, berpotensi menjadi mitra Indonesia untuk merealisasikan janji netral karbon sebelum 2060.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Banna Choiruzzad, mengungkapkan, langkah Presiden Trump tersebut merupakan respons dari perubahan global yang menggerus kekuatan AS. Pasalnya, Negeri Paman Sam merupakan kekuatan besar di sektor minyak, sementara tren sumber energi global kini telah beralih ke energi terbarukan (EBT). Di sisi lain, China kini memimpin sektor EBT.

Guncangan geopolitik ini dinilainya akan berdampak pada agenda iklim dan transisi energi global. Salah satunya, upaya AS mengucilkan China dari rantai pasok EBT akan membuat rantai pasok menjadi terfragmentasi dan mengerek biaya transisi energi secara global. Dampak lainnya, potensi berkurangnya pembiayaan iklim. Namun, menurut Shofwan, momentum global di mana investasi EBT telah melampaui energi fosil harus dipertahankan.

"Untuk itu, di level global, kita harus tingkatkan daya tahan agenda iklim dan transisi energi, dengan mendorong multilateralisme yang tidak bergantung pada satu kekuatan besar. Kita juga perlu memperkuat kemitraan multipihak dan lintas negara yang lebih kokoh dan efektif. Indonesia perlu memastikan tidak hanya engage dengan satu kekuatan saja, perlu didorong adanya kemitraan yang beragam, multilateral, dan multi-stakeholder. Tidak hanya menggandeng negara lain, tetapi juga berbagai pihak yang terkait,” kata Shofwan, dikutip Kamis (8/5/2025).

Ia menegaskan, Indonesia harus melakukan transisi ke energi terbarukan. Pasalnya, transisi ke EBT tak hanya sekadar masalah lingkungan saja, tetapi langkah strategis untuk menjamin pertumbuhan dan kedaulatan dalam jangka panjang. Diversifikasi ke EBT akan melindungi Indonesia dari volatilitas harga energi fosil yang sangat dipengaruhi kondisi geopolitik global. Dengan meningkatkan kapasitas EBT menjadi lebih besar, Indonesia akan memiliki ruang manuver yang cukup luas ketika terjadi perubahan geopolitik dan lonjakan harga energi fosil.

"Indonesia tidak bisa terus menunda-nunda transisi ke energi terbarukan. Jika tidak ada political will dari pemerintah, tidak mungkin bisa menaikkan investasi energi terbarukan. Political will yang kokoh dan berkelanjutan menjadi kunci dari perbaikan kelembagaan dan mobilisasi pendanaan,” ujar Shofwan.

Policy Strategis CERAH, Wicaksono Gitawan, mengingatkan Indonesia tetap terikat dengan komitmen transisi energi sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Itu merupakan bukti Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris. Karenanya, meski AS mundur dari Perjanjian Paris dan kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkewajiban merealisasikan transisi dari energi fosil ke EBT.

Apalagi, menurutnya, AS bukanlah satu-satunya mitra yang mendukung aksi transisi energi Indonesia. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China mulai mengalihkan investasinya di Indonesia ke proyek energi hijau. Selanjutnya, Jepang melalui inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) berkomitmen mendukung dekarbonisasi kawasan Asia.

"Meski demikian, Indonesia tetap harus waspada, mengingat tidak semua rencana investasi China dan Jepang sejalan dengan komitmen netral karbon. China misalnya, meski mulai beralih, investasinya masih dominan di energi fosil, seperti PLTU captive untuk smelter nikel. Kemudian Jepang masih mendorong gas alam (LNG) dan biomassa, yang berisiko memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fosil," kata Wicaksono.

Hal ini mengingat, sejumlah dokumen perencanaan Indonesia masih memasukkan teknologi transisi yang dinilai justru akan meningkatkan emisi dan memperpanjang pemanfaatan energi fosil. Dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 misalnya, masih memasukkan rencana retrofit PLTU dengan teknologi penangkapan karbon (carbon capture storage/CCS) dan pembakaran bersama (co-firing) biomassa. Teknologi yang sama juga masih dimasukkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.

Wicaksono menekankan, teknologi-teknologi yang menjadi solusi semu transisi energi seharusnya tidak lagi masuk dalam perencanaan nasional. Pemerintah seharusnya fokus meningkatkan kapasitas energi terbarukan secara cepat dan signifikan. Dengan pasar dan sumber daya yang melimpah, Indonesia memiliki daya tawar untuk menegosiasikan sektor yang menjadi tujuan investasi negara-negara mitra.

Read Entire Article
Politics | | | |