REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Kabinet Israel menyetujui dengan suara bulat pencaplokan Jalur Gaza yan oa batas waktu. Warga Gaza akan diusir seturut rencana yang akan dimulai dengan serangan yang lebih brutal tersebut.
The Associated Press melaporkan, Rencana baru tersebut, yang menurut dua pejabat dimaksudkan untuk membantu Israel mencapai tujuan perangnya mengalahkan Hamas dan membebaskan sandera yang ditahan di Gaza, juga menyerukan ratusan ribu warga Palestina untuk pindah ke selatan Gaza. Ini akan menyebabkan pengungsian paksa dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan.
Israel menarik diri dari Gaza pada tahun 2005 setelah pendudukan selama puluhan tahun dan kemudian memberlakukan blokade terhadap wilayah tersebut bersama dengan Mesir. Merebut dan berpotensi menduduki kembali wilayah tersebut untuk jangka waktu yang tidak terbatas tidak hanya akan semakin memupuskan harapan bagi terbentuknya negara Palestina.
Hal ini juga akan menjadikan Israel berada dalam populasi yang sangat memusuhi mereka dan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana rencana Israel untuk memerintah wilayah tersebut. Utamanya pada saat Israel sedang mempertimbangkan bagaimana menerapkan visi Presiden AS Donald Trump untuk mengambil alih Gaza.
Sebuah laporan dari lembaga penyiaran publik Israel, Kan, mengutip para pejabat yang mengetahui rinciannya, mengatakan rencana baru untuk mengintensifkan operasi di Jalur Gaza akan dilakukan secara bertahap dan akan memakan waktu berbulan-bulan, dengan pasukan akan fokus terlebih dahulu pada satu wilayah, lapor Reuters. Batas waktu tersebut dapat membuka pintu bagi perundingan gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump ke wilayah tersebut minggu depan, menurut Menteri Kabinet Keamanan Zeev Elkin.
“Masih ada peluang sampai Presiden Trump mengakhiri kunjungannya ke Timur Tengah, jika Hamas memahami bahwa kami serius,” kata Elkin kepada Kan.
Kebocoran muncul pada hari Senin yang menunjukkan bahwa pemerintah Israel telah menyetujui rencana untuk menduduki seluruh Gaza. Media Israel melaporkan bahwa rencana tersebut mencakup perluasan operasi tempur di Jalur Gaza, yang mengarah pada kendali penuh atas wilayah tersebut. Hal ini terjadi sehari setelah Kepala Staf Israel Eyal Zamir mengumumkan bahwa militer telah mulai mengeluarkan puluhan ribu panggilan pasukan cadangan untuk memperluas kampanye militer di Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa serangan baru di Gaza akan menjadi operasi militer intensif yang bertujuan untuk mengalahkan Hamas, namun tidak merinci berapa banyak wilayah tersebut yang akan direbut, menurut laporan Reuters. “Penduduk akan dipindahkan, demi perlindungan mereka sendiri,” kata Netanyahu dalam sebuah video yang diposting di X. Dia mengatakan tentara Israel tidak akan masuk ke Gaza, melancarkan serangan dan kemudian mundur.
“Niatnya justru kebalikan dari itu,” katanya. Artinya, sekali pasukan Israel kembali memasuki Gaza, mereka akan tetap di sana sampai batas waktu yang tak ditentukan.
Mahmoud al-Mardawi, pimpinan kelompok Hamas, menyatakan bahwa ancaman Israel untuk menduduki Gaza bertujuan untuk mematahkan tekad rakyat Palestina dan memaksa mereka melepaskan hak dan tempat sucinya, namun upaya tersebut tidak akan berhasil. Dalam sebuah wawancara dengan Aljazirah, Al-Mardawi menekankan bahwa perlawanan Palestina tidak akan menanggapi "dalam keadaan apapun" terhadap tawaran Israel yang diajukan pada 13 April 2024, yang merupakan contoh pemerasan.
Pemimpin Hamas mengindikasikan bahwa gerakannya berpegang pada pendiriannya yang menolak penyelesaian apa pun yang tidak memenuhi tuntutan rakyat Palestina, dan menegaskan kembali bahwa satu-satunya solusi yang dapat diterima adalah kesepakatan komprehensif.
Diantaranya adalah pembebasan semua sandera warga Israel yang ditahan oleh kelompok perlawanan, gencatan senjata yang komprehensif, dan penarikan total pendudukan dari Jalur Gaza. Selain itu, proses rekonstruksi di Jalur Gaza telah dimulai pasca kehancuran besar-besaran akibat agresi Israel. Pembebasan tahanan Palestina di penjara pendudukan.