loading...
Nader Saleh Mamdouh Sadaqa, tahanan Yahudi Samaria Palestina yang dibebaskan Israel. Foto/Palestine Chronicle
TEPI BARAT - Perjanjian pertukaran sandera Israel dengan tahanan Palestina, bagian dari gencatan senjata Gaza yang diuraikan dalam rencana perdamaian 20 poin Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, membawa seorang tokoh terkemuka dan kompleks ke dalam sorotan: Nader Sadaqa.
Sebagai seorang pemimpin senior di sayap militer Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Sadaqa adalah satu-satunya anggota komunitas Samaria kuno yang kecil dan ditahan di penjara-penjara Israel.
Pembebasannya pada 13 Oktober 2025, dari hukuman seumur hidup dengan imbalan tahanan Israel, telah mendorong persimpangan identitas unik ini—seorang Palestina, Yahudi, dan sekaligus pejuang perlawanan—ke panggung global.
Baca Juga: Utusan Trump Merasa Dikhianati Ketika Israel Serang Hamas di Qatar
Sang Pemikir dan Pejuang
Lahir dengan nama Nader Saleh Mamdouh Sadaqa pada 12 Juni 1977, di lereng Gunung Gerizim di Nablus, pusat komunitas Samaria di Tepi Barat utara, hidupnya diwarnai komitmen politik yang mendalam.
Aktivitas awal Sadaqa dimulai sejak kecil, melempari batu ke arah pasukan pendudukan Israel saat menyerbu Nablus.
Dia bergabung dengan PFLP selama masa sekolah menengahnya, kemudian menjadi terkenal di Universitas Nasional An-Najah, tempat dia meraih gelar sarjana sejarah dan arkeologi.
Selama Intifada Palestina Kedua pada tahun 2000, keterlibatannya dalam perlawanan meningkat. Dedikasinya membawanya terpilih menjadi anggota sayap militer PFLP, Brigade Martir Abu Ali Mustafa.
Sadaqa dengan cepat menorehkan namanya, menjadi salah satu tokoh perlawanan paling dicari di Tepi Barat karena merencanakan dan melaksanakan operasi militer melawan pendudukan Israel, termasuk satu operasi pada tahun 2003 di Petah Tikva yang menewaskan empat tentara Israel.
Dia kemudian diangkat menjadi komandan sayap militer di Nablus.