Jangan Berprasangka Buruk: Hikmah dari 'Menanti Kelahiran'

8 hours ago 2

Image Faiha Widad Fillah

Sastra | 2025-05-25 13:21:49

Ilustrasi emosi. (Sumber: https://www.pexels.com/)

Buku kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami merupakan karya A.A. Navis yang diterbitkan pada tahun 1956 oleh NV Nusantara. Di dalamnya terdapat salah satu cerpen berjudul Menanti Kelahiran. Dari yang saya baca, cerita ini cukup menarik, terutama karena tokoh Lena benar-benar menggambarkan sosok perempuan yang mudah overthinking, sedikit-sedikit marah, cerewet, cemburuan, atau ngambek hanya untuk mencari perhatian. Sifat seperti ini terasa sangat realistis, karena pada kenyataannya banyak perempuan memang memiliki kecenderungan seperti itu. Konon, sumber kehidupan perempuan adalah kasih sayang. Jadi, saat perempuan merasa kurang diperhatikan atau emosinya tidak ditanggapi dengan lembut, mereka cenderung mengekspresikannya lewat sikap-sikap seperti itu. Hal ini membuat karakter Lena terasa sangat relate dan dekat dengan kenyataan, seolah menggambarkan sikap yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan sifat Lena yang seperti itu. Beruntung, Lena menikah dengan Haris, seorang pria penyabar yang selalu menanggapi sikap istrinya dengan tenang. Bahkan ketika Lena bersikap plin-plan dan sulit mengambil keputusan, Haris tetap sabar. Sampai akhirnya Lena berani memutuskan sesuatu, Haris langsung memberinya pujian dan apresiasi.

Dari kisah mereka, ada satu hal yang terasa sangat relevan dengan kehidupan sekarang, yaitu:

Tidak baik terlalu sering berprasangka buruk kepada orang lain

Salah satu pesan yang paling menonjol dari cerpen Menanti Kelahiran adalah bahwa tidak baik terlalu sering berprasangka buruk kepada orang lain. Lena digambarkan sebagai tokoh yang sering kali berpikir negatif terhadap orang-orang di sekitarnya. Di awal cerita sudah terlihat bahwa prasangka buruk Lena muncul kepada suaminya karena kurang memperhatikan dirinya, sehingga ia gampang curiga dan marah. Contohnya, ketika ia tiba-tiba menuduh suaminya akan selingkuh hanya karena teringat cerita bibinya yang dipoligami secara diam-diam dan kemudian membalas dengan tindakan ekstrem. Padahal saat itu suaminya sedang membaca koran di sebelahnya, tidak melakukan apa-apa. Tapi Lena sudah berpikir bahwa suaminya melakukan hal yang sama seperti suami bibinya, bahkan ia sudah memantapkan hati untuk dipenjara dan melakukan hal yang serupa seperti bibinya.

Contoh lainnya, saat Lena sedang marah-marah, ia tiba-tiba teringat pesan orang tuanya bahwa perempuan hamil tidak boleh sering emosi karena bisa berdampak buruk pada anak yang dikandung. Ia jadi takut kalau anaknya nanti lahir dalam keadaan buruk rupa, seperti anak Aisah, anak yang menurut Lena tampak kurang menarik karena lebih terlihat seperti kera. Lena percaya bahwa itu terjadi karena Aisah dulu saat hamil sering ngomel atau marah-marah, sehingga anaknya terlahir dengan rupa yang menurut Lena “amit-amit”. Ketakutan seperti ini muncul karena Lena sangat mempercayai omongan orang tua dan tahayul yang sudah tertanam sejak kecil. Tapi pandangan Lena terhadap anak Aisah juga menunjukkan betapa prasangkanya membuat dia mudah menilai buruk orang lain hanya dari penampilan luar. Inilah bahayanya jika terlalu sering berprasangka buruk, kita bisa jadi seenaknya menilai dan merendahkan orang lain tanpa dasar yang adil atau logis.

Lena juga sempat dilanda kecurigaan terhadap Aisah saat hendak meninggalkan rumah. Ia merasa was-was karena pernah punya pengalaman buruk dengan pembantu sebelumnya yang mencuri barang-barang miliknya. Walau awalnya ia berusaha berpikir positif dan iba melihat kondisi Aisah yang punya dua anak, pada akhirnya prasangkanya terbukti ketika Aisah pun ternyata menipunya. Dari sini, terlihat bahwa prasangka kadang memang bisa menjadi bentuk kewaspadaan, seperti saat Lena memilih mengunci semua lemari dan barang berharganya sebelum pergi. Tapi jika prasangka itu sampai membuat kita langsung menuduh, menghina, atau memperlakukan orang lain dengan buruk tanpa bukti, tentu itu tidak dibenarkan.

Dari cerita ini, kita bisa belajar bahwa berprasangka buruk boleh saja asal tidak berlebihan. Waspada itu penting, tapi jangan sampai semua yang kita lihat dipenuhi pikiran negatif. Kalau terlalu sering berprasangka, kita justru akan capek sendiri dan sulit menikmati hidup. Lebih baik berpikir positif dan belajar mengendalikan emosi agar hidup terasa lebih ringan dan tenang.

DAFTAR PUSTAKA

Navis, A. A. (1986). Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |