Kado Lebaran dari Sang Educator in Chief

2 days ago 7

Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebaran tak hanya tentang opor, ketupat, dan baju baru. Lebaran adalah pelabuhan rasa. Di sinilah anak-anak menjadi pusat semesta. Senyum mereka adalah nyala kehidupan, langkah kecil mereka adalah puisi tentang harapan.

Di setiap sudut desa atau pun kota, anak-anak berlari menyambut pagi, dengan suara takbir yang menggetarkan langit. Tangis mereka reda saat tangan mungil menerima ‘angpau’ atau uang saku Lebaran. Tawa mereka membuncah kala meraih pernak-pernik penuh warna. Lebaran, bagi mereka, adalah momen sakral tentang kebahagiaan yang tak bersyarat.

Rasulullah SAW pun mengajarkan itu. Dalam banyak riwayat, beliau memberi perhatian khusus kepada anak-anak pada hari raya. Diceritakan, Nabi pernah menggendong cucunya, Hasan dan Husein, saat menuju masjid di Hari Raya. Ia membelai kepala anak yatim, menyeka air mata mereka, dan memastikan tak ada satu pun anak yang merasa kehilangan kasih sayang. Hari Raya adalah momen memuliakan mereka yang paling kecil di antara kita.

Begitu pula Sahabat Umar bin Khattab. Di balik ketegasannya, tersimpan kelembutan luar biasa. Ia pernah memanggul sendiri karung gandum untuk seorang ibu miskin yang anak-anaknya menangis kelaparan. Di hari raya pun, ia memastikan tak ada satu anak pun yang terpinggirkan dari kebahagiaan.

Ketika ajudannya menawarkan bantuan, Umar menolak. "Apakah kau akan memanggul dosaku di hari kiamat?" katanya. Bahkan di hari raya, Umar memastikan tak ada anak yang tertinggal dari kebahagiaan.

Makna simbolik

Meski terkesan simbolik, namun tradisi tersebut sejadinya memiliki makna mendalam. Imam Al-Ghazali, dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan merupakan amanah bagi orang tua. Ia menulis, "Hati anak itu suci, laksana permata yang berharga. Jika dibiasakan kepada kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan." Dalam konteks ini, pendidikan dan perlindungan anak menjadi tanggung jawab utama keluarga dan masyarakat.

Menurut Imam Ghozali, jika anak-anak dibesarkan tanpa perhatian dan arahan yang benar, maka potensi besar mereka bisa tergelincir. Pandangan ini memperkuat urgensi perhatian mendalam terhadap tumbuh kembang anak, bukan hanya sebagai tugas moral dan spiritual, tapi juga tanggung jawab sosial dan negara.

Inilah yang dikatakan Nasih Ulwan, ulama tan tokoh muslim berkebangsaan Suriah, bahwa pendidikan akan lebih indah dan lebih cepat dipahami jika dilakukan melalui praktek langsung [learning by doing]. Karena anak-anak meniru apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari orangtua, guru, maupun teman-temannya.

Read Entire Article
Politics | | | |