Kearifan Pesantren: Iqra Sebagai Sunnah Pembangun Peradaban Islam

4 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Di tengah rentang panjang usia eksistensi itu, apakah pesantren mengalami perubahan atau tetap seperti awal kemunculannya? Apakah pesantren tersebut merupakan sebuah entitas tunggal, homogen? Tulisan berikut mencoba melacak akal kultural pesantren dalam konteks peradaban Islam yang lebih luas.

Secara normatif, Islam sangat menekankan ilmu pengetahuan. Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan Muslim bahwa ayat yang pertama turun berkaitan dengan perintah membaca (iqro’). Padahal, semenanjung Arabia pada saat itu masih diliputi oleh budaya buta huruf yang masif. Mampu baca tulis justru dianggap aib. Bisa dikatakan bahwa perintah membaca sangat tidak kontekstual pada saat itu. Di sinilah letak urgensi perintah tadi: ia diturunkan bukan hanya untuk mendobrak dominasi illiterasi pada saat itu, tapi juga sebagai dasar keberlanjutan peradaban.

Maka bisa dilihat dalam ayat-ayat lain tentang aksentuasi Alquran pada ilmu pengetahuan dan proses berpikir, serta privilege yang diberikan pada mereka yang berpengetahuan dan proses yang mereka jalani dalam mencari ilmu. Hadits juga menekankan semangat yang sama. Ada tiga poin penting di sini: iqro sebagai perintah untuk mencari ilmu; orang berilmu ditinggikan derajatnya; proses mencari ilmu dianggap sebagai fi sabilillah.

Lebih lanjut, Nabi mengatakan bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, symbol kehidupan duniawi pada saat itu. Lantas apa warisannya? Nabi Muhammad hanya mewariskan dua hal: Kitabullah dan Sunnah. Bagaimana agar kedua warisan ini fungsional dalam kehidupan sehari-hari? Satu-satunya cara adalah dengan membaca, memahami, merenungkan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Artinya, dua warisan itu pada hakikatnya merupakan ilmu pengetahuan.

Oleh sebab itu, Nabi mengatakan lebih lanjut bahwa pewaris mereka bukanlah raja, panglima perang, konglomerat ataupun elit politik, tapi para ulama. Ilmu pengetahuan adalah benang merah peradaban Islam sehingga para ahli ilmu menempati posisi yang sangat tinggi. Beberapa ungkapan dalam riwayat menegaskan hal tersebut, seperti kematian seluruh anggota suku (masyarakat) lebih ringan bagi Allah daripada kematian seorang ulama.

Dalam perkembangannya, ilmu tidak hanya memiliki nilai relijius, tapi juga sosial, budaya, ekonomi dan politik. Ia menjadi core seluruh dimensi kehidupan. Inilah yang kemudia mempengaruhi perkembangan Islam sepanjang sejarah. Harun al Rasyid, sebagai contoh, membayar penerjemah yang mayoritas Kristiani, dengan emas seberat buku yang mereka terjemahkan. Para khalifah dan sultan juga memiliki aktifitas rutin yang memberi ruang pada para ulama untuk tampil berdebat di depan public, sehingga aktifitas munazhoroh (diskusi) ini menjadi salah satu tradisi akademik dalam dunia Muslim.

Pertanyaan selanjutnya adalah: apa cabang ilmu yang dikembangkan dan diperdebatkan? Ada dua fase sejarah penting yang menjadi pembeda: fase Madinah dan Pascamadinah. Fase Madinah ditandai sejak era Nabi hingga berakhirnya khulafa al Rasyidin.

Perkembangan ilmu masih terfokus pada ilmu naqliyah, berbasis teks suci. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu masih berkaitan dengan Alquran, Hadits dan faraidl. Fase berikutnya dimulai Ketika ibu kota dipindahkan oleh Bani Umayyah dari Madinah ke Damaskus, kota tua yang menjadi salah satu pusat peradaban Romawi Kristiani.

Di Damaskus, kaum Muslim mulai berkenalan dengan ilmu yang sebelumnya tidak mereka kenal sama sekali, seperti kedokteran, filsafat, kimia dan ilmu falak. Apa yang harus mereka lakukan dengan ilmu-ilmu baru tersebut, yang belum pernah diajarkan oleh Nabi?

Read Entire Article
Politics | | | |