Komunikasi: Secanggih MRI, Semujarab Obat Termahal di Dunia

3 hours ago 3

Image Fida Nashifah

Rubrik | 2025-11-10 23:39:42

Sering kali ketika kita pulang dari berobat—baik ke rumah sakit maupun klinik—bukan pencerahan yang didapatkan, melainkan kebingungan akan penjelasan yang diberikan. Meski di dunia ini sudah ada alat-alat dengan segala kecanggihannya, obat-obat dengan segala inovasinya, dan robot-robot dengan segala kemampuannya, ada satu hal penting yang tidak akan bisa digantikan oleh mesin. Komunikasilah jawabannya.

Dalam dunia kesehatan, komunikasi memegang peranan yang sangat besar sebagai penentu keberhasilan pengobatan. Seorang dokter bisa saja menjadi yang paling pintar, tetapi semua itu akan terasa sia-sia jika pasien tidak paham akan penjelasan yang Ia dengar.

Hubungan antara dokter dan pasien di Indonesia masih sering diisi dengan ketidakselarasan informasi. Seorang dokter yang memiliki beban kerja tinggi dan dikejar oleh waktu, terkadang menyampaikan penjelasan tentang penyakit dengan istilah-istilah medis yang sulit dipahami. Di sisi lain, pasien dan keluarganya hanya bisa mengangguk-angguk tanda paham padahal di baliknya mereka hanya pasrah mengikuti arahan dokter tanpa benar-benar tahu apa yang sedang terjadi.

Sebuah perasaan terenyuh muncul saat saya melakukan pengamatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit beberapa minggu yang lalu. IGD adalah pusat kesibukan sebuah rumah sakit, tempat di mana keputusan cepat menjadi hal utama dari yang lain. Beruntungnya, saat itu kondisi IGD tidak terlalu ramai, hanya diisi oleh beberapa pasien yang memiliki kondisi gawat tetapi tidak darurat.

Ketika saya sampai, saya menangkap sebuah momen wali pasien yang menghampiri dokter jaga dengan membawa lembar hasil rontgen. Rautnya tampak kebingungan, tidak tahu langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Dokter jaga tersebut bisa saja menjelaskannya dengan singkat, asal pasien tahu saja tanpa memberikan penjelasan panjang. Namun, yang saya temukan adalah sebaliknya.

Dokter tersebut tidak tergesa-gesa. Ia berdiri tegak, meminta hasil rontgen dan menaruhnya di film viewer yang ada di IGD. Beliau menunjuk-nunjuk bagian pada hasil tes, menggunakan bahasa tubuh yang tenang, dan memberi jeda agar wali pasien bisa memahaminya dengan sempurna. Saya tidak bisa mendengar detailnya, tetapi saya bisa melihat perilaku dan sikapnya yang sabar.

Sikapnya itu menghasilkan dampak yang dapat langsung terlihat. Raut wajah wali pasien yang awalnya tegang berganti menjadi mimik pemahaman. Ada anggukan yang mantap. Ada ketenangan yang muncul di tengah kebingungan yang melanda.

Momen sederhana di IGD merupakan sebuah pengingat bahwa komunikasi bukan sebuah soft skill, melainkan kompetensi utama dalam praktik kesehatan dan kedokteran. Hal yang dilakukan oleh dokter jaga merupakan sebuah tindakan terapeutik. Tidak hanya menjawab dengan alasan medis, tetapi Ia juga membantu mengelola kecemasan sang wali pasien. Dengan memberi penjelasan yang baik, Ia mengembalikan pikiran wali pasien ke titik awla tanpa adanya kecemasan.

Pasien dan keluarga yang paham dan mengerti tentang kondisi mereka akan cenderung lebih kooperatif, tidak mudah termakan hoaks, dan lebih patuh terhadap rencana penyembuhan dan pengobatan. Penjelasan yang baik dari seorang dokter adalah titik awal untuk menciptakan kepercayaan yang menjadi modal utama kesembuhan pasien.

Pada akhirnya, mesin dan teknologi secanggih apa pun hanya sebuah alat. Dalam proses penyembuhan seorang pasien, interaksi antarmanusialah yang memegang kuncinya. Di ruang dan bilik rumah sakit serta klinik yang tiap detik orang datang silih berganti, satu penjelasan yang penuh dengan kesabaran dari seorang dokter bisa lebih mujarab daripada obat termahal yang ada di dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |