Ratifikasi Konvensi PBB dan Pengesahan RUU KKS Dinilai Jadi Kunci Hadapi Ancaman Siber Global

2 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ancaman kejahatan siber kini kian nyata dan kompleks, menuntut Indonesia segera memperkuat sistem pertahanannya. Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15, Bambang Soesatyo (Bamsoet), memastikan kedaulatan digital nasional. Khususnya melalui dua agenda utama, yakni meratifikasi United Nations Convention Against Cybercrime yang baru saja disahkan Majelis Umum PBB dan mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS)

“Dunia telah memasuki babak baru perang tanpa senjata. Disahkannya Konvensi PBB tentang Kejahatan Siber menjadi sinyal kuat bahwa kejahatan digital bukan lagi isu lokal, tapi global. Indonesia harus segera menyesuaikan diri dan memperkuat payung hukumnya,” ujar Bamsoet usai bertemu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Ahmad M. Ramli, di Jakarta, belum lama ini.

Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan bahwa ancaman digital tidak hanya menyasar individu, tetapi juga infrastruktur vital negara seperti sistem transportasi, energi, kesehatan, dan keuangan. Laporan Cybersecurity Ventures memprediksi kerugian global akibat kejahatan siber akan mencapai 10,5 triliun dolar AS pada 2025, menandakan betapa seriusnya eskalasi serangan di ranah digital.

Serangan besar-besaran terhadap sistem bandara di Eropa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia, mengingat tingkat ketergantungan sistem nasional terhadap teknologi digital semakin tinggi, sementara perlindungannya belum sepenuhnya kokoh.

“Kita tidak boleh menunggu sampai krisis terjadi. Serangan siber bisa melumpuhkan negara tanpa satu pun peluru ditembakkan. Ini bukan lagi soal teknis, tapi soal pertahanan dan kedaulatan,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Politik, Pertahanan & Keamanan itu menambahkan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mendeteksi lebih dari 403 juta anomali trafik siber di Indonesia sepanjang 2024, meningkat sekitar 27 persen dari tahun sebelumnya. Mayoritas serangan menargetkan infrastruktur informasi kritikal nasional (IIKN), termasuk sektor pemerintahan dan keuangan.

“Jika sistem perbankan, listrik, atau bandara diserang bersamaan, dampaknya bisa mengguncang stabilitas nasional. RUU KKS diperlukan untuk memastikan perlindungan hukum dan koordinasi antarinstansi berjalan efektif,” ujarnya.

Menurut Bamsoet, RUU KKS dirancang untuk memperjelas pembagian tanggung jawab antara lembaga-lembaga seperti BSSN, Kominfo, Polri, dan BIN, sekaligus mengatur mekanisme tanggap darurat siber berskala nasional.

“Selama ini BSSN telah bekerja keras di lapangan, tapi tanpa landasan hukum yang kuat, sistem pertahanan siber nasional belum optimal. UU KKS akan memperkuat sinergi dan memberi dasar hukum bagi tindakan negara dalam menghadapi ancaman siber,” jelas Bamsoet, yang juga mengajar di Universitas Pertahanan (Unhan), Universitas Jayabaya, dan Universitas Borobudur.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH-UNPAD) ini menambahkan, banyak negara sudah lebih dahulu melangkah dengan sistem hukum yang mapan, seperti AS dengan Cybersecurity and Infrastructure Security Agency Act, Uni Eropa dengan NIS2 Directive, dan Singapura dengan Cybersecurity Act sejak 2018.

“Negara-negara maju sudah menempatkan keamanan siber sebagai urusan strategis negara. Indonesia juga harus bergerak cepat agar tidak tertinggal. Ratifikasi konvensi PBB dan pengesahan RUU KKS akan memperkuat posisi kita di kancah global dan menjaga kedaulatan digital nasional,” kata Bamsoet.

Read Entire Article
Politics | | | |