Like Bisa Lukai Mental? Ini Kata Peneliti!

4 hours ago 2

Image Fiqih Akhdiyatu Salam

Riset dan Teknologi | 2025-05-14 11:54:11

Ilustrasi dampak media sosial (pexels.com)

Pada era digital saat ini, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai sarana bersenang-senang atau berkomunikasi. Ia telah menjadi tempat pencarian jati diri, terutama bagi kalangan remaja. Namun, penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Communication Research pada tahun 2024 menunjukkan dampak negatif dari ketergantungan terhadap umpan balik di media sosial. Ketika komentar, likes, dan reaksi digital menjadi ukuran harga diri, risiko mengalami gangguan mental meningkat, khususnya gejala depresi.

Validasi Instan dan Dampaknya

Studi longitudinal ini melibatkan lebih dari 2. 000 remaja di AS dan dilakukan selama dua tahun. Peneliti menemukan bahwa semakin besar ketergantungan remaja pada feedback di media sosial, semakin tinggi peluang mereka untuk mengalami gejala depresi. Ini bukan hanya disebabkan oleh tidak terpenuhinya ekspektasi sosial, tetapi juga oleh proses perbandingan sosial yang melelahkan dan kadang menimbulkan kecemasan.
Dr. Taylor L. Smith, seorang psikolog klinis dari University of Pennsylvania yang berpartisipasi dalam penelitian ini, mengungkapkan, "Remaja yang selalu memeriksa jumlah likes atau komentar cenderung menginternalisasi nilai diri mereka berdasarkan reaksi orang lain. Ketika tidak mendapatkan respons yang diinginkan, rasa harga diri mereka bisa jatuh dengan drastis. "

Pandangan Para Ahli

Prof. Sherry Turkle, penulis buku Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age, menyatakan, "Media sosial menciptakan ilusi konektivitas, padahal seringkali yang terjadi adalah isolasi emosional. Generasi muda lebih fokus pada penciptaan citra digital daripada memperkuat hubungan nyata. "
Di sisi lain, Dr. Laurence Steinberg, seorang ahli psikologi perkembangan dari Temple University, menambahkan bahwa otak remaja masih dalam tahap pertumbuhan, terutama pada bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas kontrol diri dan pengambilan keputusan. "Ketika remaja terlalu bergantung pada validasi digital, mereka mengalami kesulitan dalam membangun identitas yang sehat," jelasnya.

Perspektif Ilmu Komunikasi

Dari sudut pandang komunikasi, fenomena ini dapat dipahami melalui teori Uses and Gratifications, di mana pengguna media aktif mencari kepuasan tertentu dari konsumsi media. Remaja cenderung mencari penerimaan sosial, adanya rasa keberadaan, dan pengakuan identitas. Dengan lahirnya metrik digital melalui media sosial, ketergantungan pun semakin meningkat. Namun, Dr. Nancy Baym dari Microsoft Research mengatakan, "Saat motivasi sosial tergantung pada algoritma dan respons massa, kita menciptakan budaya hubungan yang lemah dan transaksional. "

Implikasi Sosial dan Pendidikan

Dampak dari fenomena ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga menyeluruh. Sekolah dan lembaga pendidikan tinggi perlu memberikan respons dengan program literasi digital dan kesehatan mental yang tepat. Terapi berbasis kognitif-perilaku (CBT) memang terbukti efektif dalam membantu remaja mengatasi ketergantungan pada media sosial dan membangun citra diri yang lebih positif.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama lembaga swadaya masyarakat, dapat mengembangkan kurikulum khusus untuk membekali siswa dengan keterampilan manajemen emosi di era digital. Salah satu contohnya adalah pelatihan self-compassion dan program detoks digital yang telah diujicobakan di negara-negara Skandinavia dengan hasil yang menggembirakan.

Penutup

Media sosial seharusnya tidak menjadi musuh. Namun, jika digunakan tanpa pemikiran kritis, alat ini bisa menjadi destruktif, khususnya untuk individu yang sedang membangun identitas diri, yakni remaja. Sebagai bagian dari masyarakat akademik dan profesional, kita harus berperan dalam menciptakan ruang diskusi yang lebih reflektif tentang bagaimana teknologi memengaruhi psikologi generasi muda.Pada akhirnya, internet tidak seharusnya menjadi satu-satunya tempat untuk melihat diri sendiri. Validasi yang sebenarnya seharusnya berasal dari dalam diri, bukan dari banyaknya likes di ponsel.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |