Mampukah Iran 'Menutup' Selat Hormuz?

5 hours ago 5

Oleh: Fitriyan Zamzami, jurnalis Republika dan fellow East-West Center di University of Hawaii 2015

TEHERAN – Seiring serangan Amerika Serikat ke Iran pada Ahad (22/6/2025), parlemen Iran dikabarkan menyepakati “penutupan” Selat Hormuz” di Teluk Persia. Bagaimana langkah ini dalam pandangan hukum internasional, dan bagaimana dampak penerapannya?

Jalur air ini menghubungkan Teluk Persia ke Samudera Hindia, dengan Iran di utara, Uni Emirat Arab, dan Oman di selatan. Panjangnya hampir 161 kilometer dan lebarnya 34 kilometer pada titik tersempitnya, dengan jalur pelayaran di setiap arahnya hanya selebar 3 km.

Kedalamannya yang dangkal membuat kapal berpotensi rentan terhadap ranjau, dan kedekatannya dengan daratan – khususnya Iran – membuat kapal rentan terhadap serangan rudal berbasis pantai atau intersepsi oleh kapal patroli dan helikopter.

Pada April 1959 Iran mengubah status hukum selat tersebut dengan memperluas laut teritorialnya alias zona ekonomi eksklusif (ZEE) menjadi 12 mil laut (nmi) atau sepanjang (22 km) dan menyatakan bahwa Iran hanya akan mengakui transit melalui lintas damai melalui wilayah yang baru diperluas tersebut. Pada Juli 1972, Oman juga memperluas laut teritorialnya menjadi 12 nmi melalui dekrit.

Artinya, sejak 1972 Selat Hormuz telah sepenuhnya "dilingkupi" oleh gabungan perairan Iran dan Oman. Selama tahun 1970-an, baik Iran maupun Oman tidak berusaha menghalangi jalur kapal perang melalui selat tersebut.

Setelah pada Agustus 1989 meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Oman menyerahkan deklarasi yang menegaskan dekrit kerajaan pada 1981 bahwa hanya lintas damai yang diperbolehkan melalui laut teritorialnya. Sedangkan kapal perang asing harus meminta izin melintas.

Setelah menandatangani UNCLOS pada Desember 1982, Iran menandatangani deklarasi yang menyatakan "bahwa hanya negara-negara pihak pada Konvensi Hukum Laut yang berhak mendapatkan manfaat dari hak-hak kontrak yang dibuat di dalamnya", termasuk "hak lintas transit melalui selat yang digunakan untuk navigasi internasional". 

Pada Mei 1993, Iran memberlakukan undang-undang komprehensif mengenai wilayah maritim. Salah satu isinya; kapal perang, kapal selam, dan kapal bertenaga nuklir, harus mendapatkan izin sebelum melakukan lintas damai melalui perairan teritorial Iran. Amerika Serikat tidak mengakui klaim apa pun dari Oman dan Iran dan telah menentang masing-masing klaim tersebut.

Merujuk UNCLOS, perlintasan damai kapal-kapal internasional tak boleh diganggu. “Sesuai dengan Konvensi ini, kapal-kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, mempunyai hak lintas damai melalui laut teritorial,” bunyi Artikel ke 24 UNCLOS 1982.

Keterangan artikel itu mengatur bahwa negara-negara berpantai juga dilarang: “(a) menerapkan persyaratan pada kapal asing yang mempunyai dampak praktis berupa penolakan atau pengurangan hak lintas damai; atau (b) melakukan diskriminasi dalam bentuk atau fakta terhadap kapal-kapal suatu negara atau terhadap kapal-kapal yang membawa muatan ke, dari atau atas nama Negara mana pun.

Selain itu, Selat Hormuz menghubungkan ZEE Iran, Irak, Kuwait, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab di Teluk Persia dengan ZEE Iran, Oman, dan Uni Emirat Arab di Teluk Oman. Dengan demikian, Selat Hormuz memenuhi kriteria Pasal 37 UNCLOS mengenai rezim lintas transit.

“Pada selat sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, semua kapal laut dan pesawat udara mempunyai hak lintas transit yang tidak boleh dihalangi,” bunyi Artikel 38 UNCLOS. Pengecualian dari poin ini adalah jika “selat tersebut dibentuk oleh suatu pulau dari suatu Negara yang berbatasan dengan selat tersebut dan daratannya.”

Artinya, menurut Pacinte Abdel-Fattah dan Mostafa Ahmed dari Al Habtor Research Center di Uni Emirat Arab, potensi penutupan atau gangguan Selat Hormuz oleh Iran menghadirkan tantangan militer dan hukum yang sangat fluktuatif dengan implikasi yang luas. Karena berdasarkan UNCLOS 1982, yang mengabadikan hukum kebiasaan internasional, hak lintas transit melalui selat internasional seperti Hormuz tidak dapat ditangguhkan. 

Meskipun Iran telah menandatangani tapi belum meratifikasi UNCLOS dan mempertahankan undang-undang dalam negeri yang saling bertentangan yang mengharuskan kapal perang asing mendapat izin terlebih dahulu, prinsip kebebasan navigasi tetap menjadi landasan hukum maritim internasional. 

Upaya apa pun yang dilakukan Iran untuk memasang ranjau laut atau memblokir Selat tanpa alasan yang sah merupakan penggunaan kekuatan yang melanggar hukum, melanggar UNCLOS dan Piagam PBB, dan kemungkinan besar akan memicu hak membela diri bagi negara-negara yang terkena dampak. Secara historis, serangan terhadap kapal dagang telah mendapat kecaman dari Dewan Keamanan PBB, dan Sekretaris Jenderal telah menekankan perlunya menghormati hukum internasional dan meningkatkan tata kelola maritim untuk melindungi jalur pelayaran global.

Sejauh ini, Iran belum pernah memberlakukan blokade penuh di Selat Hormuz. Selama perang tahun 1980 hingga 1988 antara Irak dan Iran, pasukan Irak menyerang terminal ekspor minyak di Pulau Kharg, barat laut selat tersebut, untuk memprovokasi pembalasan Iran yang akan menyeret AS ke dalam konflik. Korps Garda Revolusi Islam Iran saat itu memiliki pilihan untuk mengganggu lalu lintas melalui Selat Hormuz, namun memilih untuk tidak melakukannya.

Blokade, bukan penutupan...

Read Entire Article
Politics | | | |