Membumikan Gagasan Persaudaraan Manusia

4 hours ago 5

loading...

Ridwan, Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) FoSS UIII. Foto/Dok. SindoNews

Ridwan al-Makassary
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) FoSS UIII
Ketua Panitia Konferensi Internasional “Human Fraternity” di Jakarta akhir Juli 2025

GAGASAN Human Fraternity (persaudaraan manusia) menjadi satu isu yang perlu didengungkan terus ketika kita menyaksikan dunia yang semakin terbelah oleh konflik politik, ekonomi, yang berbalut identitas dan politisasi agama. Konsep ini, sejatinya, merujuk pada Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama yang telah ditandatangani pada 2019 di Abu Dhabi oleh Paus Fransiskus dan Imam Agung Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb.

Konsep Human Fraternity ini menjadi penting dan mendesak di masa yang penuh ketidakpastian ini. Saat ini, tatanan dunia ini sedang dihancurkan oleh pelbagai cabaran yang mendesak, sejak dari ketahanan pangan hingga perubahan iklim, pandemi global, perang dagang global, masalah kemiskinan, pengungsi dan migrasi, dan meningkatnya konflik antar negara. Alih-alih bekerja sama untuk mengatasi pelbagai tantangan tersebut, pemangku kepentingan dunia – pemerintah, organisasi internasional, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas bisnis – acap terlibat dalam konflik politik atau sumber daya ekonomi, yang melibatkan agama.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk membumikan gagasan persaudaraan manusia yang dipandang abstrak dan terlalu melangit. Selain itu, tulisan ini sebagai sambutan untuk pelaksanaan konferensi internasional Human Fraternity di pungkasan Juli 2025 di Jakarta, yang akan dilaksanakan Universitas Islam Internasioal Indonesia (UIII) dan Higher Committee of Human Fraternity (HCHF). Namun, sejak dokumen tersebut dirilis ke dunia pertama kali, gagasan tersebut tidak menjadi narasi arus utama yang termuat di media populer, lingkaran akademisi, masyarakat sipil atau bidang pemerintah.

Karenanya, di tengah dunia yang terpolarisasi, persaudaraan manusia bisa berfungsi menjadi obat mujarab (panacea), karena melalui kerangka persahabatan dan dukungan di antara manusia, para pemangku kepentingan dunia dapat bekerja sama dalam memecahkan pelbagai tantangan yang meningkat. Konsep ini akan menciptakan lingkungan yang positif bagi para pemangku kepentingan dunia untuk bekerja sama dengan cara yang setara dan transparan, untuk berbagi rasa saling menghormati, dan untuk membuka jalan bagi dunia yang lebih baik. Selain itu, ia mencerminkan komitmen antaragama yang berkembang terhadap visi ini. Inisiatif semacam itu kuat karena menggabungkan otoritas rohani dengan tanggung jawab moral praktis.

Persaudaraan manusia, dengan demikian merupakan salah satu cita-cita penuh harapan di masa ujian ini. Dalam lanskap dunia yang tercabik-cabik oleh nasionalisme sempit, rasisme buta, intoleransi agama, dan ketidaksetaraan, prinsip persaudaraan manusia menawarkan visi persatuan yang berakar bukan pada kesamaan (homogeneity), tetapi pada solidaritas melintasi perbedaan dan keragaman.

Secara substansi, persaudaraan manusia bukan hanya sahutan moral tetapi panggilan untuk bertindak. Ia menantang sistem eksklusi, diskriminasi dan dominasi, dan menyuarakan bahwa perdamaian dan keadilan tidak dapat dipisahkan. Gagasan ini berarti menegaskan martabat setiap orang sama Mulya dan perlunya membangun tatanan masyarakat di mana martabat itu dihormati melalui akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, kebebasan berekspresi, dan keselamatan.

Dengan demikian, persaudaraan manusia tidak bisa berhenti hanya sebuah deklarasi dan selesai. Ia juga tidak hanya diseminarkan dan diriset. Ia harus membentuk kebijakan, ekonomi, dan sistem pendidikan yang mebebaskan dan penuh keadilan. Ia juga harus mendorong kita untuk bergumul dan mencari solusi bagi perubahan iklim sebagai ancaman bersama, migrasi, kemiskinan sebagai tantangan manusia, dan ketidaksetaraan sebagai kegagalan moral.

Read Entire Article
Politics | | | |