Nugroho Habibi, Peneliti di Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM Unusia) dan Mahasiswa Magister Kebijakan Publik dan Governansi Universitas Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proyek Strategis Nasional (PSN) terjebak dalam perdebatan dua kutub ekstrem. Disanjung bak mesin penggerak perekonomian atau ditolak lantaran memicu konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Dikotomi ini tak banyak membantu penentuan kebijakan. Perlu diingat, bahwa tantangan kebijakan paling nyata bukan lagi perdebatan PSN perlu dijalankan atau tidak, melainkan bagaimana memastikan manfaat ekonominya terdistribusi secara adil sekaligus meminimalkan risiko sosial dan lingkungan.
Maret 2025, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2025 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang yang menandai percepatan industrialisasi di Pantura Jawa. (KEK) Industropolis Batang menutup pembukuan dengan capaian investasi Rp4,87 triliun dengan total pemanfaatan lahan sebesar 93,67 hektare dan menyerap 9.000 tenaga kerja. Torehan tersebut menjadi bukti bahwa PSN Batang menghasilkan aktivitas ekonomi riil dan memberi justifikasi ekonomi bagi strategi industrialisasi nasional.
Sayangnya, manfaat industrialisasi tidak terdistribusi secara otomatis di level desa. Desa yang lebih dekat dengan kawasan industri, memiliki akses infrastruktur yang lebih baik, serta tenaga kerja yang relatif siap terserap oleh pabrik, cenderung lebih cepat merasakan dampak ekonomi. Sebaliknya, desa yang lebih jauh atau masih bergantung pada sektor tradisional tertinggal. Kita ambil contoh desa di Kecamatan Gringsing yang jauh dengan kawasan industri yakni, Desa Madugowongjati dengan tingkat kemiskinannya 21,19 persen. Sebaliknya, Desa Ketanggan hanya 8,25 persen penduduk miskinnya per tahun 2023. Fenomena ini mencerminkan backwash effect, yang mana pertumbuhan ekonomi terkonsentrasi di pusat industri tanpa efek pengganda yang merata ke wilayah sekitarnya.
Menjaga Pertumbuhan Tanpa Mengorbankan Lingkungan
Harus diakui, kehadiran PSN di Batang tidak hanya mengubah struktur ekonomi lokal, tetapi juga membentuk dinamika sosial dan ekologis baru. Oleh karena itu, dampak lingkungan PSN perlu dipahami secara proporsional, bukan semata sebagai persoalan pencemaran insidental, melainkan sebagai proses transformasi lingkungan yang bersifat bertahap, spasial, dan kelembagaan.
Sebelum ditetapkan sebagai PSN, wilayah (KEK) Industropolis Batang didominasi oleh perkebunan karet dan sawah milik negara yang dikelola PTPN. Kawasan ini bukan wilayah permukiman padat, melainkan area produksi agraris dengan aktivitas manusia yang relatif terbatas. Lanskap perkebunan tersebut memang bukan ekosistem alami murni, tetapi tetap menjalankan fungsi penting seperti penyerapan air hujan, penyangga mikroklimat, dan habitat bagi sejumlah spesies lokal. Aksesibilitas wilayah juga masih rendah, sehingga kawasan ini belum menjadi pusat pertumbuhan ekonomi sebelum intervensi negara melalui skema PSN.
Alih fungsi lahan dari perkebunan menjadi kawasan industri dan infrastruktur pendukung membawa konsekuensi ekologis yang tidak dapat diabaikan. Berkurangnya ruang hidup flora dan fauna serta perubahan struktur mikro-ekosistem merupakan dampak yang inheren dalam proses ini. Meskipun, belum tercatat gangguan ekologis besar seperti, banjir atau longsor, tetapi ketiadaan kejadian ekstrim tidak serta-merta meniadakan resiko lingkungan yang bersifat kumulatif dan jangka panjang.
KEK Industropolis Batang menunjukkan upaya serius membangun sistem pengelolaan limbah terpadu dalam urusan pengelolaan lingkungan. Kawasan ini didukung instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpusat disebut berkapasitas 18.000 meter kubik per hari, serta fasilitas tempat pemrosesan sampah terpadu (TPST) dengan kapasitas 140 ton per hari. Sepanjang 2024, tidak tercatat insiden tumpahan limbah cair maupun limbah B3. Sebagian air hasil olahan IPAL bahkan dimanfaatkan kembali untuk irigasi lanskap dan cadangan air bersih. Fakta ini menunjukkan bahwa industrialisasi di Batang berjalan bukan tanpa kontrol lingkungan, mereka juga mengutamakan pengelolaan lingkungan.
Tata Kelola Menjadi Kunci
Mol & Spaargaren (2000) dalam Ecological modernisation theory in debate: A review, menekankan bahwa modernisasi industri harus berjalan seiring dengan modernisasi kelembagaan. Namun di KEK Industropolis Batang, percepatan industrialisasi berlangsung lebih cepat dibanding peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Menelisik ke belakang, sebelum KEK Industropolis Batang, Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) telah beroperasi sejak 2020, tetapi program pelatihan tenaga kerja baru berjalan intensif dalam satu hingga dua tahun terakhir.
Keterlambatan ini memunculkan beberapa persoalan, seperti ketidaksesuaian keterampilan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan industri (mismatch), tidak tercapainya target penyerapan 70 persen tenaga kerja lokal sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Batang No. 1 Tahun 2025 tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah, serta ketimpangan spasial penyerapan tenaga kerja antara desa yang dekat dan jauh dari kawasan. Dalam situasi ini, pemerintah daerah belum sepenuhnya siap mengantisipasi perubahan struktur ketenagakerjaan akibat industrialisasi yang cepat.
Karena itu, dukungan terhadap KEK Industropolis Batang harus kritis dan bersyarat. Artinya, percepatan investasi perlu diiringi percepatan pelatihan tenaga kerja lokal berbasis kebutuhan industri, pemerataan manfaat antar desa, pemantauan lingkungan preventif dan transparan, serta pembagian kewenangan antara pusat dengan daerah yang lebih seimbang. Mendukung PSN berarti menuntut negara hadir lebih kuat dalam mengelola risikonya, agar industrialisasi menjadi jalan menuju kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan. Bukan sekadar pertumbuhan jangka pendek.

4 hours ago
6













































