REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Ibnu Taimiyah, seseorang dengan hati yang bersih dapat membedakan antara hal baik dan buruk. Jika seseorang tidak mengetahui hal tersebut, berarti hatinya belum bersih dan belum terpuji.
Ini sesuai dengan Alquran surah al-Hajj ayat 46, Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Maksud dari ayat di atas adalah tidaklah orang-orang yang mendustakan dari suku Quraisy itu berjalan di muka bumi untuk menyaksikan bekas-bekas kehancuran orang-orang yang dibinasakan, sehingga mereka mau berpikir dengan akal-akal mereka. Dan kemudian mengambil pelajaran darinya serta mendengarkan berita-berita mereka dengan penuh perenungan, sehingga dapat memetik pelajaran darinya?
Karena sesungguhnya hakikat kebutaan bukanlah kebutaan penglihatan, tetapi kebutaan yang membinasakan adalah kebutaan mata hati untuk menangkap kebenaran dan mengambil pelajaran. Buta hati itu sangat berbahaya dan akan menyebabkan seseorang tidak bisa menerima kebenaran sehingga jalan hidupnya bisa tersesat.
Hati yang bersih juga akan membawa manusia kepada ketenangan hidup dan kekhusyukan dalam beribadah. Sebaliknya, hati yang kotor cenderung membawa manusia untuk berbuat maksiat karena perbuatannya dikendalikan nafsu.
Dalam surah as-Syu’ara ayat 88-89 disebutkan bahwa pada hari kiamat nanti anak dan harta tidak akan bisa memberikan manfaat kecuali orang yang datang menghadap Allah SWT dengan hati yang bersih.
Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat asy-Syu’ara, yang disebut dengan "qalbun salim" atau hati yang bersih. Pertama, terhindar dari kemusyrikan atau menduakan Allah SWT.
“Ini adalah hal yang paling pokok dalam menjaga hati agar tetap bersih. Baik itu syirik zahir dalam arti penyembahan secara langsung maupun kesyirikan dalam arti meyakini adanya kekuatan dan datangnya manfaat selain dari Allah SWT.”
Kedua, terhindar dari sifat sombong. Menurut Ibnu Katsir, kesombongan dengan merasa lebih dari yang lain dan bentuk kesombongan lainnya merupakan pupuk kotoran hati.
Ketiga, syahwat atau keinginan-keinginan yang tidak dikendalikan, sehingga menjadi penghalang untuk mengetahui kebenaran. Jika seorang hamba telah berbuat maksiat dan menyadari atas kesalahannya, sebenarnya dengan penyesalan itu sudah bertobat.
Orang yang bertobat adalah orang yang telah kembali. Artinya, dia telah kembali dari sesuatu yang dicela dan menuju sesuatu yang dipuji.
Hal ini sebagaimana firman-Nya pada surah al-Baqarah ayat 222 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Dipertegas perintah-Nya dalam surah an-Nur ayat 31 yang artinya, “Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Selama bulan suci, Allah SWT telah memberikan banyak karunia, seperti rahmat (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh pertama ). Maghfirah atau pengampunan (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan ).
Pembebasan dari api neraka (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir ). Kemudian, Lailatul Qadar yang diturunkan pada malam-malam ganjil (yang nilainya lebih baik dari seribu bulan atau setara dengan 83 tahun usia manusia).
sumber : Hikmah Republika oleh Aunur Rofiq