REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koala, spesies ikonik Australia yang kini berstatus terancam punah, menghadapi ancaman serius yang tak terduga yaitu waktu yang mereka habiskan di tanah. Sebuah penelitian baru yang dipimpin oleh Gabriella Sparkes, seorang mahasiswa PhD di University of Queensland, Australia, mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa koala hanya menghabiskan sekitar 10 menit per hari di tanah.
Namun waktu singkat di darat inilah justru dikaitkan dengan dua pertiga kasus kematian koala yang tercatat. Temuan ini menyoroti celah pengetahuan krusial tentang pergerakan fine-scale koala, terutama saat mereka tidak berada di atas pohon, dan bagaimana hal ini berhubungan langsung dengan angka kematian populasi mereka yang terus menurun.
Populasi koala di Australia telah mengalami penurunan drastis akibat hilangnya habitat, fragmentasi, dan penyakit. Meskipun koala dikenal sebagai hewan arboreal (penghuni pohon), deforestasi massal yang terus-menerus memaksa mereka untuk melakukan perjalanan di darat.
"Koala sebagian besar tinggal di pohon, tetapi karena pembukaan lahan yang luas, mereka semakin terpaksa untuk bepergian di darat, yang menempatkan mereka pada risiko serius cedera dan kematian," kata Gabriella Sparkes dikutip dari laman Study Finds pada Sabtu (12/7/2025).
Ia ingin lebih memahami apa yang dilakukan koala selama pergerakan di darat ini. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa sekitar 66 persen dari semua kematian koala terjadi saat mereka berada di tanah, sebagian besar disebabkan oleh serangan anjing dan tabrakan kendaraan. Namun, yang mengejutkan adalah sedikitnya informasi tentang perilaku mereka di darat.
"Kami belum memiliki pemahaman yang jelas tentang seberapa sering koala turun dari pohon, seberapa jauh atau cepat mereka bergerak, berapa lama mereka tinggal di darat, atau apa yang memengaruhi keputusan tersebut," kata Sparkes.
Ia menambahnkan, "Ini adalah celah pengetahuan yang kritis jika kita ingin mengidentifikasi area atau waktu berisiko tinggi dan mengembangkan strategi untuk mengurangi ancaman selama momen-momen rentan ini".
Untuk menganalisis pergerakan koala, Sparkes dan timnya memasang kalung yang dilengkapi dengan logger GPS dan akselerometer enam sumbu pada koala liar di lanskap yang sebagian besar telah dibersihkan untuk pertanian. Akselerometer memungkinkan Sparkes untuk mengidentifikasi jenis gerakan yang berbeda, seperti berjalan, memanjat, dan duduk. Hal ini membantunya mengklasifikasikan pola perilaku berbasis pohon dan berbasis darat secara fine-scale.
"Ketika dipasangkan dengan jejak GPS, ini memberi kami gambaran yang sangat rinci tentang bagaimana koala bergerak melalui habitat mereka," kata Sparkes.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa, tidak mengherankan, koala menghabiskan sebagian besar waktu mereka di pohon, tidur, dan makan. Namun, skala sebenarnya dari kebiasaan "memeluk pohon" mereka sangat mengejutkan.
"Yang mengejutkan kami adalah betapa jarang dan singkatnya mereka berada di tanah, hanya 2-3 kali per malam, rata-rata sekitar 10 menit secara total, atau kurang dari 1 persen dari hari mereka," kata Sparkes.
Mereka juga menemukan bahwa koala di tanah bergerak dengan urgensi yang sangat kecil. "Mereka menghabiskan hampir sama banyak waktu untuk duduk dan berhenti seperti halnya mereka berjalan, dan hanya sekitar 7 persen dari waktu mereka di tanah dihabiskan untuk melompat," kata Sparkes.
Ia berspekulasi bahwa ini mungkin menunjukkan bahwa koala dengan hati-hati menilai lingkungan mereka saat bergerak, mungkin mengevaluasi pohon sebelum memilih satu untuk dipanjat, atau mungkin mencerminkan biaya energi dari melompat. Studi ini adalah yang pertama mendokumentasikan pergerakan fine-scale di darat pada koala liar, dan membuka pertanyaan baru tentang bagaimana mereka menavigasi habitat yang semakin terfragmentasi.
"Kami sekarang sedang melihat fitur lingkungan yang memengaruhi berapa lama koala bertahan di pohon. Jika kita dapat mengidentifikasi jenis pohon atau kondisi habitat yang mendorong koala untuk tetap berada di pohon lebih lama, kita mungkin dapat merancang atau mengelola lanskap dengan cara yang mengurangi kebutuhan perjalanan di darat," ujarnya.
Berdasarkan temuan ini, Sparkes dan timnya berharap dapat memengaruhi arah upaya konservasi koala, yang dapat mencakup memprioritaskan jenis vegetasi tertentu, meningkatkan konektivitas kanopi, atau mengurangi celah antara pohon-pohon yang aman—semua ini dapat membantu menjaga koala tetap di luar tanah dan jauh dari zona bahaya.
"Penelitian ini hanyalah satu bagian dari teka-teki, tetapi ini menambah lapisan penting pada pemahaman kita tentang bagaimana koala berinteraksi dengan lingkungan yang semakin diubah oleh manusia," kata Sparkes. Penelitian ini dipresentasikan pada Konferensi Tahunan Society for Experimental Biology di Antwerp, Belgia pada 9 Juli 2025.