Yunias Dao
Humaniora | 2025-05-11 19:24:28

Pendahuluan
Kasus pemasangan pagar laut di pesisir utara Kabupaten Tangerang, Banten, telah menjadi perhatian publik. Fenomena ini mengungkapkan serangkaian pelanggaran terhadap prinsip pengelolaan ruang laut yang berkelanjutan. Di tengah meningkatnya kebutuhan akan keamanan maritim, kasus ini memperlihatkan lemahnya pengawasan negara atas wilayah pesisir. Tidak sekadar pelanggaran administratif, pemasangan pagar laut tanpa izin mencerminkan ancaman serius terhadap kedaulatan, keberlanjutan, dan ketahanan maritim nasional.
Lebih jauh, fenomena serupa sesungguhnya bukan hanya terjadi di Tangerang. Di berbagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia, kasus serupa kerap muncul, namun tidak mendapatkan sorotan yang cukup akibat lemahnya pengawasan dan minimnya perhatian dari pihak berwenang. Kondisi ini memperparah degradasi ruang laut nasional secara sistemik dan menjadi 'bom waktu' bagi krisis pengelolaan pesisir di masa depan.
Kerangka Hukum dan Tata Kelola Wilayah Pesisir
Peraturan perundang-undangan Indonesia jelas menetapkan batasan pengelolaan ruang pesisir. Pasal 36 ayat (1) Permen KP No. 28/2021 menyatakan bahwa satu mil laut dari garis pantai merupakan zona prioritas untuk perlindungan ekosistem, akses umum, dan pertahanan keamanan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 1 ayat (4) dan (5) mempertegas bahwa air dan dasar laut termasuk dalam pengertian "bumi" yang dikuasai oleh negara (UU No. 5/1960).
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 secara eksplisit melarang sertifikasi atas dasar laut, membatalkan konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang membuka ruang bagi privatisasi wilayah pesisir. Sayangnya, dalam kasus Tangerang, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tetap diterbitkan di atas perairan, memperlihatkan pelanggaran sistematis terhadap prinsip hukum agraria dan kelautan.
Ketidakjelasan status hukum bangunan di atas perairan ini tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang menekankan pentingnya perlindungan wilayah pesisir untuk keberlanjutan dan keamanan maritim. Pendirian pagar laut tanpa izin di ruang laut umum melanggar prinsip kebebasan laut (freedom of the seas), menghalangi akses publik, serta menyalahi kewajiban negara pantai untuk melestarikan lingkungan laut (Pasal 192 UNCLOS). Tindakan ini juga menciptakan potensi sengketa baru, bertentangan dengan prinsip penyelesaian damai dalam pengelolaan wilayah perairan.
Reklamasi dan Keamanan Maritim: Dimensi yang Terabaikan
Rencana reklamasi yang disebutkan dalam dokumen evaluasi lingkungan hidup Provinsi Banten dan KLHS Jakarta memperlihatkan kekeliruan fundamental dalam pendekatan solusi lingkungan. Alih-alih memperbaiki kualitas perairan, reklamasi justru memperparah kerusakan ekosistem pesisir (IOJI, 2024). Praktik ini mempersempit ruang gerak nelayan tradisional, memperburuk akses publik terhadap pantai, dan menciptakan ketegangan sosial.
Secara strategis, keberadaan pagar laut ilegal ini dapat menghambat jalur patroli keamanan laut, memperbesar risiko penyelundupan, dan merusak sistem deteksi dini ancaman maritim. Dalam konteks regional, pengalaman negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan atas wilayah pesisir meningkatkan peluang eksploitasi ilegal oleh aktor domestik maupun transnasional (Asia Maritime Transparency Initiative, 2021).
Privatisasi ruang laut tanpa dasar hukum memperlemah kedaulatan negara atas wilayah pesisir. Sejalan dengan teori "State Sovereignty at Sea" (Prescott & Schofield, 2005), kontrol efektif atas wilayah maritim adalah elemen kunci dari kedaulatan nasional. Dalam konteks ini, penerbitan HGB atas dasar laut bukan hanya bentuk pelanggaran administratif, melainkan mencerminkan kegagalan negara dalam menjaga domain strategisnya.
Ketidakjelasan kepemilikan pagar laut memperlihatkan lemahnya prinsip akuntabilitas. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi melemahkan posisi Indonesia dalam mempertahankan batas-batas wilayahnya, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perluasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan konflik wilayah perbatasan laut.
Kendati tersedia berbagai instrumen hukum, seperti UU No. 32/2014 tentang Kelautan, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 1/2014 tentang PWP3K, penegakan hukum atas kasus ini masih minim. Penyidikan dapat dilakukan oleh Polri, PPNS KKP, maupun PPNS ATR/BPN, tetapi sampai saat ini tindakan konkret belum terlihat.
Selain lemahnya penegakan hukum, literasi masyarakat dan aparat tentang zonasi pesisir juga rendah. Studi UNDP (2020) menunjukkan bahwa kurang dari 30% aparat daerah memiliki pemahaman yang memadai tentang prinsip zonasi wilayah pesisir. Rendahnya literasi ini memperburuk ketidakmampuan negara dalam melakukan intervensi cepat terhadap pelanggaran ruang laut.
Fenomena di banyak daerah menunjukkan bahwa penyimpangan terhadap zonasi pesisir bukan hanya akibat kelalaian administratif, tetapi juga akibat jaringan korupsi yang terstruktur di tingkat lokal hingga nasional. Hal ini memperparah degradasi integritas tata kelola kelautan Indonesia.
Implikasi Terhadap Ketahanan Maritim Nasional
Dari perspektif strategis, kasus ini memperlihatkan kerapuhan ketahanan maritim lokal. Ketahanan maritim tidak hanya mencakup aspek militer, tetapi juga ketahanan ekologi, ekonomi, dan sosial (Bateman & Bergin, 2011). Jika praktik privatisasi liar dibiarkan, ancaman terhadap kedaulatan, keberlanjutan ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat pesisir akan semakin memburuk.
Dampak negatif ini diperparah oleh ancaman perubahan iklim global yang meningkatkan risiko terhadap pesisir. Ketidakmampuan mengelola pesisir secara berkelanjutan dapat mempercepat degradasi lingkungan dan memperbesar potensi bencana ekologis, memperlemah daya tahan bangsa terhadap ancaman non-tradisional di laut.
Dalam kerangka geopolitik, lemahnya penguasaan dan pengelolaan ruang pesisir memberi ruang bagi aktor eksternal untuk memanfaatkan celah-celah hukum dan politik nasional, sehingga berpotensi mengancam stabilitas nasional di kawasan perbatasan laut.
Rekomendasi Strategis
Menghadapi kompleksitas dan urgensi masalah pagar laut serta degradasi pengelolaan pesisir, Indonesia memerlukan pendekatan strategis yang komprehensif. Rekomendasi ini bukan hanya berbicara soal tindakan hukum, melainkan tentang perubahan paradigma pengelolaan laut nasional.
Pertama, negara harus menegakkan hukum secara tegas. Pembatalan seluruh sertifikat HGB atas dasar laut dan pemberian sanksi kepada pelanggar adalah langkah mendesak. Ini penting untuk memulihkan otoritas negara atas ruang laut yang dikuasainya.
Kedua, memperkuat kapasitas penyidikan kelautan menjadi kebutuhan strategis. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Polri, serta ATR/BPN perlu membangun satuan khusus penyidikan ruang pesisir, dilengkapi pelatihan teknis berbasis hukum internasional dan nasional.
Ketiga, literasi kelautan harus diarusutamakan dalam program pendidikan masyarakat pesisir. Negara harus mengembangkan kurikulum lokal berbasis zonasi pesisir, hak-hak masyarakat, dan prinsip keberlanjutan agar pengelolaan ruang laut menjadi bagian dari kesadaran kolektif.
Keempat, perlu dilakukan revisi menyeluruh terhadap kebijakan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Revisi ini harus mempertajam batasan kegiatan di zona satu mil laut, mengutamakan perlindungan ekosistem, perikanan tradisional, dan kepentingan pertahanan negara.
Kelima, pengawasan ruang pesisir perlu melibatkan monitoring independen. Pembentukan lembaga non-pemerintah dengan mandat memantau penggunaan ruang laut dapat meningkatkan akuntabilitas dan mempersempit ruang bagi pelanggaran.
Keenam, sinergi lintas sektor harus diperkuat. Operasi pengawasan laut harus menjadi agenda rutin yang melibatkan TNI AL, Bakamla, Polairud, hingga pemerintah daerah. Integrasi sistem pemantauan berbasis satelit dan patroli fisik harus dioptimalkan.
Ketujuh, restorasi ekosistem harus menjadi prioritas menggantikan reklamasi. Program rehabilitasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang bukan hanya memperkuat ketahanan ekologi, tetapi juga berfungsi sebagai benteng alami melawan abrasi dan perubahan iklim.
Kedelapan, negara harus membangun platform transparansi publik berbasis digital yang memberikan akses terbuka atas informasi izin, zonasi, proyek reklamasi, dan status hukum ruang pesisir. Transparansi ini penting untuk memperkuat partisipasi publik dan mencegah praktik koruptif.
Rekomendasi ini jika diimplementasikan secara serius akan memperkuat tata kelola kelautan nasional, mempertegas kedaulatan negara, dan mewujudkan keamanan maritim yang berkelanjutan.
Penutup
Kasus pagar laut di Tangerang adalah refleksi dari krisis integritas pengelolaan ruang pesisir di Indonesia. Negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penjaga kedaulatan dan keberlanjutan wilayah maritimnya. Keamanan maritim yang kokoh dimulai dari ketegasan dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil.
Gagal mengatasi masalah ini berarti membuka pintu bagi kerentanan yang lebih luas terhadap ancaman keamanan maritim, baik dari dalam negeri maupun dari aktor asing. Oleh sebab itu, membenahi tata kelola pesisir adalah investasi strategis untuk mempertahankan eksistensi bangsa di tengah dinamika geopolitik maritim global yang kian kompleks.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.