Peneliti UI: Mandatori B50 Perlu Fleksibilitas Cegah Defisit Pasokan

2 days ago 9

Peneliti Puslit Pranata Pembangunan??????? UI Widyono Soetjipto (kiri) dalam memaparkan materi dalam focus group discussion (FGD) hasil penelitian di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

EPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- JAKARTA -- Tim Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Puslit Pranata UI) memperingatkan, penerapan mandatori biodiesel B50 pada 2026 dapat memicu ketidakseimbangan serius dalam industri sawit nasional. Dengan kebutuhan bahan baku mencapai 59 juta ton per tahun untuk B50, industri sawit Indonesia menghadapi ancaman defisit pasokan, tekanan ekspor, serta gejolak harga yang berdampak langsung pada daya saing global, dan kesejahteraan petani.

Tim peneliti Pranata UI, Widyono Soetjipto mengatakan, kebijakan B50 harus dijalankan secara fleksibel dan adaptif agar tidak menekan ekspor dan merugikan petani. "Penelitian kami merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan dalam industri ini mempertimbangkan saksama kapasitas produksi sawit nasional, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani agar manfaat program ini terasakan secara menyeluruh," kata Widyono dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Kebijakan yang mempertimbangkan seluruh faktor serta parameter pada industri kelapa sawit Indonesia secara ilmiah akan mendukung efektivitas upaya membangun kemandirian energi lewat peningkatan mandatori pencampuran biodiesel dari B40 ke B50. Indonesia saat ini merupakan produsen dan konsumen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 48,2 juta ton (54 persen) dari pasokan global, dengan luas perkebunan sekitar 16,8 juta hektare.

Produksi 2025 diproyeksikan hanya mencapai 49,5 juta ton, sementara implementasi mandatori B50 menuntut peningkatan kapasitas produksi minyak sawit nasional sekitar 59 juta ton per tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Stagnasi pasokan menjadi risiko utama dalam mendukung mandatori biodiesel dan daya saing ekspor.

Simulasi yang dilakukan Puslit Pranata UI menunjukkan, mandatori B50 memang mampu menghemat devisa impor solar hingga Rp 172,35 triliun. Namun, kebijakan itu juga berpotensi menekan ekspor CPO sebesar Rp 190,5 triliun. Nilai itu justru melebihi penghematan impor. Kondisi tersebut dapat menggerus surplus neraca perdagangan, menekan cadangan devisa, dan melemahkan nilai tukar rupiah.

Penurunan ekspor mendorong harga CPO naik, bahkan kerap lebih mahal dari minyak nabati lain seperti kedelai, dengan selisih harga mencapai lebih 100 dolar AD per ton. "Sementara negara importir utama seperti India mulai mengalihkan permintaan ke minyak kedelai dan bunga matahari, sehingga impor CPO Indonesia diperkirakan turun ke titik terendah sejak 2019/2020," jelas Widyono.

Read Entire Article
Politics | | | |