Peta Jalan Dakwah di Nusantara Tekankan Kolaborasi

3 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kompleks Dewan Undangan Negeri Perlis, Malaysia, baru saja menjadi saksi sebuah pertemuan penting para cendekiawan Muslim se-Nusantara. Majelis Ilmuwan Nusantara (MIN) sukses menyelenggarakan persidangan ke-3 mereka pada 12-13 November 2025, dengan tema sentral "Ta'āwun dalam Dakwah: Antara Persamaan dan Perbedaan."

Acara yang diresmikan oleh Syed Faizuddin Putra Jamalullail, Raja Muda Perlis, ini berhasil merumuskan sejumlah resolusi strategis untuk memandu gerakan dakwah di kawasan.

Para ulama dari Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, dan Kamboja terlibat dalam diskusi mendalam untuk menelaah batas, peluang, dan tantangan dalam menjalin kerjasama (ta'awun) demi kemaslahatan umat. Dari pembahasan tersebut, lahir tujuh poin resolusi yang menekankan pentingnya pendekatan diplomasi yang bijaksana, tanpa mengorbankan prinsip dasar agama.

Merespon hasil persidangan ini, Direktur Alfahmu Institute, Ustaz Fahmi Salim, memberikan penekanan pada dua poin krusial. Beliau menyoroti pentingnya sikap terbuka dan strategis dalam memanfaatkan peluang dakwah.

“Gerakan dakwah Islam perlu memanfaatkan berbagai ruang dan peluang yang tersedia dalam bidang sosial, budaya, seni, dan isu-isu kemanusiaan, agar pesan Islam dapat tersampaikan dengan cara yang relevan, menarik, dan strategis,” tegas Ustaz Fahmi yang juga menjabat anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah.

Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa “Sikap tertutup dan kaku justru akan melemahkan potensi umat, sementara pihak lain memanfaatkan ruang tersebut untuk memengaruhi opini masyarakat.”

Mufti Negeri Perlis Prof. Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin (Dato' MAZA) menjelaskan resolusi MIN juga menegaskan bahwa kerjasama dengan non-Muslim atau kelompok berbeda mazhab diperbolehkan dalam hal-hal kemanusiaan universal, seperti perdamaian dan keadilan, selama tidak mengandung pengakuan terhadap akidah yang menyimpang. Prinsip hidup berdampingan (ḥaqq al-ta‘āyush) dipandang sebagai bagian dari muamalah, bukan akidah.

Kerja sama dalam hal-hal kemanusiaan, seperti upaya perdamaian, penegakan keadilan, atau bantuan bencana alam, dipandang sebagai bagian dari muamalah yang bersifat fleksibel dan diperbolehkan.

Landasan pemikirannya adalah bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti menjaga martabat manusia, tolong-menolong, dan menciptakan kemaslahatan bersama, adalah nilai-nilai yang juga dijunjung tinggi oleh Islam.

Selama partisipasi dalam kerjasama semacam ini tidak mengharuskan pengakuan atau pembenaran terhadap akidah (kepercayaan) yang dianggap menyimpang, maka interaksi tersebut sah secara syariat.

Konsep ḥaqq al-ta‘āyush atau hak untuk hidup berdampingan secara damai, menjadi pilar penting dalam justifikasi kebolehan kerjasama lintas iman ini. Hidup berdampingan secara harmonis adalah keniscayaan dalam masyarakat majemuk, dan prinsip ini mengedepankan sikap saling menghormati, toleransi, dan menghindari konflik.

Ini bukan berarti mencampuradukkan keyakinan agama atau mengkompromikan prinsip-prinsip keimanan, melainkan mengakui adanya ruang bersama di mana umat beragama dapat berkolaborasi demi kebaikan bersama. Ruang muamalah ini membuka jalan bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan damai, tanpa menggerus identitas keagamaan masing-masing pihak.

Dengan demikian, pendekatan ini menawarkan kerangka kerja yang inklusif dan pragmatis untuk hubungan antar komunitas beragama. Fokusnya adalah kolaborasi dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia.

Hal ini memungkinkan umat Muslim untuk menjadi bagian aktif dari solusi terhadap masalah-masalah global dan lokal, berdiri di garda depan dalam menyuarakan keadilan dan perdamaian, sambil tetap menjaga batasan teologis mereka. Kerjasama ini menunjukkan sisi rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam) dari Islam yang diwujudkan dalam tindakan nyata.

Resolusi ini ditutup dengan seruan kepada seluruh institusi dan lembaga dakwah di Nusantara untuk memperkuat semangat ta'awun yang berlandaskan syariat, ilmu, dan kebijaksanaan. Kerja sama yang tulus, strategis, dan beradab diyakini akan menjadi landasan kokoh bagi kemajuan dakwah Islam dan kemuliaan umat di kancah regional maupun global.

Delegasi dari Indonesia yang hadir diantaranya: Prof. Dr. Syamsul Anwar (Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ketarjihan), Dr. Saidul Amin (Rektor UMRI dan UMAM), KH. Fahmi Salim, Lc. MA. (Direktur Al-Fahmu Institute), Dr. Nashirul Haq Marling (Majelis Syura DPP Hidayatullah), Dr. Rahmat Abdurrahman (Ketua Harian DPP Wahdah Islammiyah), Dr. Muhammad Yusran (Ketua STIBA Makassar dan KH. Nidhol Masyhud, Lc. (Direktur Pusat Kajian Akidah IHKAM)

Read Entire Article
Politics | | | |