REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Polda Jawa Tengah (Jateng) membongkar jaringan wartawan gadungan yang beroperasi di Pulau Jawa. Jaringan tersebut memiliki 175 anggota dan kerap melakukan pemerasan disertai pengancaman terhadap sejumlah korban.
Dirreskrimum Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio mengungkapkan, terbongkarnya jaringan wartawan gadungan bermula ketika jajarannya menangkap empat pelaku di Rest Area Tol Semarang-Boyolali pada 11 Mei 2025 lalu. Dalam penangkapan itu, Ditreskrimum Polda Jateng sebenarnya hendak membekuk tujuh orang, tapi tiga lainnya berhasil melarikan diri.
"Yang empat orang sudah kami tahan, kemudian tiga kemarin bisa meloloskan diri. Empat orang ini atas nama HMG, AMS, KS, dan IH," kata Dwi dalam konferensi pers di Mapolda Jateng, Semarang, Jumat (16/5/2025).
Dwi mengungkapkan, setelah penangkapan empat pelaku, yang salah satunya adalah perempuan, timnya segera melakukan pendalaman. Dari proses tersebut, Ditreskrimum Polda Jateng mengetahui bahwa empat tersangka merupakan anggota dari jaringan yang lebih besar.
"Ternyata ini adalah jaringan besar. Pelaku tersebut ternyata bukan hanya empat orang ataupun tujuh orang. Ternyata kelompok ini jumlahnya 175 anggota, dan itu ada di alat bukti digital yang telah kami sita," ujar Dwi.
Dia mengatakan, jaringan wartawan gadungan tersebut beroperasi di seluruh provinsi di Pulau Jawa, mencakup Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. "Pada saat kami lakukan penindakan, yang bersangkutan (tersangka) mengaku sebagai wartawan Detik. Kemudian pada saat pemeriksaan korban, ternyata disampaikan bahwa dia adalah wartawan Kompas," ucapnya.
Menurut Dwi, selain Detik dan Kompas, para pelaku juga kerap mengaku-ngaku sebagai wartawan dari media-media lainnya yang sudah terverifikasi di Dewan Pers. "Dan yang kami dapatkan identitas, dalam bentuk kartu ya, itu adalah kartu identitas Morality News, kemudian kartu identitas Mata Bidik, kartu identitas Surat Kabar Siasat Kota," kata Dwi.
"Sudah kami cek, Pak Kabid Humas (Polda Jateng) sudah cek, (media tersangka) ini tidak terdaftar. Media tidak jelas, tidak terdaftar, sudah dicek di Dewan Pers," tambah Dwi.
Modus
Dwi menjelaskan, dalam menjalankan aksinya, para pelaku biasanya menguntiti calon korbannya. "Jadi polanya dia mengikuti para korban, korban menghampiri suatu tempat penginapan, kemudian diikuti. Pada saat korban bersama pasangannya keluar dari penginapan, kemudian langsung ditemui oleh yang bersangkutan yang mengaku sebagai wartawan," ujarnya.
Dalam aksi tersebut, para pelaku bertindak secara berkelompok. "Mereka bisa menyiapkan anggotanya dalam setiap operasi minimal sepuluh orang. Bahkan ada beberapa kasus, mereka bisa mengerahkan 70 anggotanya," ungkap Dwi.
Saat operasi, para pelaku mengancam akan mempublikasikan atau menyebarluaskan perbuatan atau aib korban. "Sehingga korban ketakutan. Awalnya mereka diancam agar segera membayar tebusan sebanyak Rp100 sampai Rp150 juta. Yang kami dapatkan saat ini kasusnya, sudah terkirim Rp12 juta," kata Dwi.
Menurut Dwi, uang hasil memeras tersebut kemudian dibagi rata oleh para pelaku. Dia mengungkapkan, berdasarkan keterangan yang telah dihimpun, jaringan wartawan gadungan tersebut telah beroperasi sejak 2020. Saat ini Ditreskrimum Polda Jateng masih melakukan pendalaman lebih lanjut terkait kasus tersebut.
"Kita terapkan Pasal 368 (KUHP), ancaman maksimal sembilan tahun penjara," kata Dwi ketika ditanya pasal apa yang dikenakan kepada para tersangka.