loading...
Fikrul Hanif Sufyan. Foto/Istimewa
Fikrul Hanif Sufyan
Periset dan Pengajar Sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia
PADA 10 November 2025, berakhirlah penantian dari keluarga besar Diniyah Puteri untuk gelar pahlawan nasional. Rahmah El Yunusiyyah (Rahmah El Yunussiah) menjadi bagian dari sepuluh orang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta.
Gelar ini menandai penantian panjang untuk Kak Amah - demikian ia akrab disapa oleh keluarga besar Diniyah Puteri - sejak masa Presiden Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan baru diakui sebagai pahlawan nasional di masa Prabowo Subianto .
Rahmah Kecil: Perempuan Mandiri dan Berkemauan Keras
Rahmah El Yunussiah, demikian nama yang diberikan oleh ayahnya bernama Muhammad Yunus al-Khalidiyah bin Imanuddin - seorang Qadhi di Nagari Pandai Sikek. Terlahir dari rahim seorang ibu bernama Rafia pada 26 Oktober tahun 1900 (Sufyan, 2017).
Terbawa membawa suku Sikumbang dalam sistem matrilineal Minangkabau, Kak Amah bertumbuh menjadi anak yang cerdas, keras hati, dan berkemauan kuat di bawah bimbingan kakak kandungnya Zainuddin Labay El Yunussi. Labay pernah mengecap pendidikan di Holland Inlandsche School (HIS) dan berguru pada beberapa ulama besar Minang, satu di antaranya Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul di Surau Jembatan Besi (Sufyan, 2021).
Menginjak usia 10 tahun, Rahmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau di Padang Panjang. Rahmah mengambil perbandingan dari kajian-kajian yang diikutinya, berpindah-pindah dari satu surau ke surau lainnya.
Sejak ditinggal mati ayahnya pada 1906, Rahmah banyak memikirkan dan menyelesaikan sendiri urusannya. Ia menjahit baju sendiri dan menyenangi berbagai macam kerajinan tangan.
Rahmah melepas masa lajangnya dalam usia 16 tahun, dinikahkan oleh keluarganya dengan Bahauddin Lathif, seorang ulama dari Nagari Sumpur - yang pernah menjadi bagian gerakan Sarekat Rakyat di tahun 1920-an. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei 1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.
Suluh Penerang dan Penggerak Kesadaran Perempuan
Kisah Kak Amah sebagai suluh penerang kaum perempuan, terinspirasi dari kakaknya Zainuddin Labay El Yunussi. Sejak Labay mendirikan Diniyahschool pada 10 Oktober 1915, sekolah itu perlahan memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern. Tidak hanya itu, di sekolahnya Labay menggunakan alat peraga dan memiliki Quthb Khannah (baca:perpustakaan).
Berbeda dengan sekolah partikelir yang berada di Sumatra Westskut masa itu, Labay membolehkan perempuan ikut menjadi murid Diniyahschool. Rahmah ikut mendaftar. Karena kemampuannya, ia diterima duduk di bangku kelas tiga (setara Tsanawiyah). Selain belajar di kelas pada pagi hari, Rahmah memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore harinya. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, perempuan tidak bebas mengutarakan pendapat dan bertanya.
Bersama Rasuna Said, Sitti Nansiah, dan Djawana Basyir, Rahmah mempelajari fikih kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi. Mereka tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi (Hamka, 1956).
Sejak saat itu, Kak Amah pun mengungkap kegelisahannya pada Labay. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrahnya dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika Kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?" (Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjahschool Poetri Padang Panjang, 1938).
Labay pun tersenyum dan membolehkan adiknya untuk membuka sekolah sendiri untuk perempuan. Jadi, maka jadilah. Pada 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai bagian dari Diniyahschool yang dikhususkan untuk murid-murid putri.















































