Rahmanomic ala Menteri Keuangan Purbaya

1 hour ago 3

Oleh : Achmad Tshofawie; Koordinator ECOFITRAH, Keluarga ICMI dan FKPPI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada info di kanal berita, Menteri Keuangan Purbaya,memastikan penunjukan e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) 22 bagi pedagang ditunda, hingga pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Pertimbangan serupa juga diterapkan terhadap rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

“Tujuan saya sederhana jangan bebani masyarakat dulu. Biarkan ekonomi bergerak dulu,” katanya. Untuk memperkuat penerimaan negara, Purbaya memilih memperluas basis pajak melalui pertumbuhan ekonomi, bukan dengan menaikkan tarif.

Kebijakan Menteri  Keuangan Purbaya itu memang mencerminkan roh ekonomi berfitrah-atau yang dalam istilah yang pernah penulis gunakan, bisa kita sebut sebagai“Rahmanomic”: ekonomi yang berlandaskan kasih sayang, empati, dan keseimbangan sosial sebelum kalkulasi fiskal.

Mari kita ulas lebih dalam dari beberapa sudut pandang: 

Paradigma Rahmanomic: Prioritas pada Kehidupan, Bukan Angka

Dalam kerangka Rahmanomic,keberlanjutan ekonomi tidak ditakar dari defisit atau surplus, melainkan dari napas kehidupan masyarakat: apakah rakyat bisa bernafas lega, berusaha tanpa dicekik pajak, dan mendapat pelayanan dasar seperti kesehatan tanpa beban berlebih?

Purbaya tampaknya menyadari hukum dasar rahmanomic:“pertumbuhan ekonomi yang dipaksa dengan beban fiskal tinggi hanya akan menciptakan ekonomi semu, bukan ekonomi rahmah.”

Dengan menunda pungutan PPh 22 dan iuran BPJS, ia sedang membiarkan ekonomi bernafas lebih dulu. Ini sangat berbeda dari pendekatan teknokratis konvensional yang memandang pajak semata sebagai alat pungut, bukan alat tumbuh.

Filosofi Fitrah Ekonomi: Pertumbuhan Dulu, Pajak Kemudian

Prinsip ini mirip dengan logika ekologi: tanam dulu, baru panen.Suburkan tanahnya dulu, baru ambil hasilnya.

Dalam Rahmanomic, pajak adalah buah dari pohon ekonomi yang sehat. Jika tanah masyarakat (yakni daya beli, lapangan kerja, dan produktivitas) masih kering, maka memetik buah (pajak) justru akan merusak akarnya.

Purbaya tampak memahami prinsip timing berfitrah ini: “biarkan ekonomi bergerak dulu.” Kalimat sederhana, tapi sarat makna rahmah. Ia seolah mengembalikan logika fiskal pada urutan fitrahnya: tumbuhkan dulu kemakmuran,baru kelola penerimaan.

Ekspansi Basis Pajak ala Rahmanomic

Ia juga mengatakan ingin memperluas basis pajak lewat pertumbuhan ekonomi, bukan lewat tarif tinggi.Ini menunjukkan transisi dari paradigma ekstraktif  ke paradigma produktif.

Dalam ekonomi rahmah, negara bukan pemungut yang lapar, melainkan pengasuh yang bijak. Peningkatan penerimaan negara justru muncul secara alami, bermula dari:ekonomi yang bergairah,UMKM yang naik kelas,rantai produksi yang hidup,dan konsumsi yang sehat.

Itu jauh lebih stabil daripada menarik iuran dari masyarakat yang daya belinya masih rapuh.

Kata kuncinya: "jangan bebani masyarakat dulu". Ini cermin dari Rahmanic empathy -- sebuah kebijakan ekonomi yang melihat manusia bukan sekadar pembayar pajak, tetapi jiwa yang sedang bertumbuh dalam sistem yang belum pulih. Langkah ini secara filosofis sejalan dengan spirit QS Al-Rahman, dimana  pengaturan Allah selalu mendahulukan rahmat sebelum hisab.

“Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia, dan mengajarinya berbicara.”(QS Ar-Rahman:1-4)

Perhatikan urutannya: rahmah,ilmu,ciptaan, kemampuan interaksi. Inilah blueprint Rahmanomic: rahmah dulu, baru regulasi.

Bandingkan dengan Model Tekno-Fiskalis. Kebijakan konvensional sering memakai logika “defisit gap thinking”, semua diukur dari neraca APBN.Tapi Rahmanomic mengukur dari “life gap thinking” -- sejauh mana rakyat merasa hidupnya bermartabat, tidak dikejar pungutan, dan diberi ruang tumbuh.

Langkah Purbaya berarti: Menggeser orientasi dari menutup celah fiskal ke menumbuhkan kemandirian ekonomi rakyat;dari pajak sebagai paksaan ke pajak sebagai partisipasi.

Jejak Spiritual-Ekonomi: dari “Rahmah” ke “Barakah”

Rahmah membuka pintu barakah.Kebijakan yang  tidak menindas justru akan membuka flow keberkahan ekonomi yakni meningkatkan kepercayaan publik pada pemerintah, enumbuhkan iklim investasi berbasis keadilan, dan menciptakan lingkaran kebaikan (virtuous cycle) antara rakyat dan negara.

Dengan menunda beban pajak dan iuran, Purbaya sedang menanam trust capital -- modal kepercayaan, yang nilainya lebih besar daripada pajak tunai.

Kesimpulan: Rahmanomic in Action

Kita bisa menyebut langkah Purbaya ini sebagai “Rahmanomic in Action” , karena mengutamakan rahmah sebelum pungutan, menyadari pertumbuhan alami lebih sehat daripada pajak prematur, menegaskan bahwa negara bukan predator fiskal, tapi pelindung sosial, mengembalikan ekonomi pada fitrahnya: tumbuh dengan kasih, bukan tumbuh dengan tekanan.

Ekonomi rahmah bukanlah menunda pungutan semata, tapi menunda keserakahan. Ketika ekonomi diberi waktu untuk bernafas, ia akan membalas dengan napas panjang keberkahan.”

Diniatkan karena Allah SWT, dalam rangka mewujudkan perekonomian bangsa yang sehat,Insya Allah, Kang Purbaya sudah melangkah "teuneung-ludeung" dalam ikhtiar mencapai cita-cita bangsa yang maju, beradab, dan berada dalam Ridha Allah SWT.

Selama Menteri Purbaya bekerja dalam semangat Rahmanomic, warga negara Republik ini mesti mendukung menyemangati, bahkan mendoakan ia. Jelas Presiden RI layak mengoptimalkan kepercayaannya kepada sang Menteri. Dan tentu kepercayaan itu adalah amanah yang mesti diemban dengan tanggung jawab, kapabilitas serta integritas, baik terhadap Allah SWT, atasannya (Presiden) dan rakyat Indonesia.

Read Entire Article
Politics | | | |