Ramah di Layar, Sepi di Hati: Menguak Sisi Gelap Media Sosial

1 month ago 19

Image AIVRE 2021

Agama | 2025-09-30 14:50:12

credit by : pixabay

Di tengah gegap gempita era digital, kesepian justru menjelma menjadi penyakit sosial baru. Fenomena ini bukan sekadar cerita individu, melainkan realita yang kini dialami generasi muda, terutama Gen Z. Media sosial, yang awalnya digadang-gadang sebagai ruang untuk memperluas jejaring, justru banyak melahirkan perasaan terasing dan kehilangan makna dalam interaksi sosial.

Fenomena ini terpotret dalam riset mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berjudul *“Loneliness in the Crowd”*. Riset ini berhasil lolos Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan didanai oleh Kemendiktisaintek. Dengan pendekatan kualitatif, tim peneliti menemukan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan, khususnya TikTok, berhubungan erat dengan perasaan kesepian, rasa tidak aman (insecure), hingga krisis kesehatan mental.

Tak jarang salah satu media social yang banyak digandrungi, sering menampilkan konten estetik tentang kesepian yang kemudian diperkuat algoritma. Konten serupa muncul berulang-ulang di layar pengguna, menciptakan efek domino yang mengikis kesehatan mental sekaligus memperlemah ikatan sosial. Riset ini juga menggarisbawahi bahwa kesepian digital bukan sekadar masalah pribadi, melainkan isu serius yang perlu ditangani negara dan masyarakat.

Apa akar Masalahnya?

Meski literasi digital dan manajemen gawai sering dianggap solusi utama, akar persoalannya sesungguhnya lebih dalam. Sistem sekuler-liberal telah menjadikan interaksi sosial hanya sebatas ilusi layar. Media sosial diproduksi dan dikelola oleh industri kapitalis global yang berorientasi pada keuntungan, bukan pada kesejahteraan sosial.

Algoritma tidak dirancang untuk membangun kehangatan antarindividu, melainkan untuk memanjangkan durasi penggunaan, memupuk adiksi, dan meningkatkan pendapatan iklan. Alhasil, masyarakat dibuat candu pada kebahagiaan semu yang ditawarkan layar. Bahkan, dalam lingkup keluarga, kapitalisme digital berhasil merenggangkan ikatan: anak, orang tua, dan saudara lebih sibuk menunduk pada gawai masing-masing ketimbang saling bertegur sapa.

Inilah bukti nyata bahwa sistem kapitalisme gagal menjaga kehangatan sosial. Alih-alih mempererat, media sosial dalam sistem ini justru merusak fondasi keluarga, yang sejatinya menjadi pilar utama masyarakat.

Dampak bagi Generasi Muda

Kesepian digital bukan sekadar rasa hampa sesaat. Jika dibiarkan, ia berpotensi melahirkan generasi lemah—mudah cemas, rapuh secara emosional, dan kurang peduli terhadap persoalan umat. Generasi muda yang seharusnya tumbuh sebagai pilar peradaban justru terjebak dalam jurang ketidakberdayaan. Lebih jauh, krisis ini dapat memperlebar kelemahan umat di tengah dominasi sistem kapitalisme global.

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan membiarkan generasi muda menjadi korban? Apakah literasi digital tanpa perubahan sistem cukup untuk mengatasi persoalan ini? Fakta menunjukkan, tanpa perubahan paradigma hidup, kesepian digital hanya akan semakin mengakar.

Solusi Islam Kaffah

Islam menawarkan solusi yang bukan hanya menyentuh permukaan, melainkan menyentuh akar persoalan. Pertama, Islam memandang manusia bukan sekadar makhluk individual yang mencari hiburan, tetapi sebagai makhluk sosial yang memiliki tujuan hidup jelas: beribadah kepada Allah dan membangun peradaban yang adil. Dengan identitas Islam, umat memiliki arah hidup yang kokoh dan terlindungi dari gaya hidup menyesatkan.

Kedua, Islam kaffah mendorong pemanfaatan teknologi secara produktif. Media sosial seharusnya tidak menjadi ruang pelarian dari kesepian, melainkan sarana untuk belajar, berdakwah, berbagi ilmu, memperkuat ukhuwah, serta membangun usaha halal. Dengan cara ini, media sosial berubah dari candu menjadi instrumen pemberdayaan.

Ketiga, Islam menekankan penguatan keluarga dan komunitas. Dalam pandangan Islam, keluarga adalah benteng pertama dari segala bentuk keterasingan. Ketika nilai-nilai Islam diterapkan, hubungan antara orang tua, anak, dan anggota keluarga lainnya dibangun dengan kasih sayang, bukan tergantikan oleh layar digital.

Akhirnya, Islam kaffah menghadirkan literasi digital yang berbasis nilai, pengelolaan waktu gawai yang proporsional, serta ikatan sosial yang hangat. Dengan pendekatan ini, kehampaan spiritual dan keterasingan sosial dapat diatasi. Umat bukan hanya selamat dari jebakan sistem sekuler-liberal, tetapi juga mampu menjadikan era digital sebagai medium untuk memperkuat solidaritas, kreativitas, dan kontribusi nyata bagi peradaban.

Kesepian di tengah keramaian dunia maya adalah alarm keras bagi kita semua. Media sosial yang tampak ramah di layar, ternyata menyimpan bahaya sunyi di hati. Jika sistem sekuler-liberal tetap dipertahankan, kesepian massal akan terus menjadi wajah buram peradaban modern.

Sudah saatnya masyarakat kembali menjadikan Islam sebagai identitas utama. Hanya dengan kembali pada Islam kaffah, umat dapat membalikkan situasi: dari generasi rapuh menjadi generasi tangguh, dari keterasingan menjadi ukhuwah, dan dari kesepian digital menuju kehidupan yang penuh makna serta keberkahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |