REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Skor keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) kian menentukan akses dan biaya kredit bagi perusahaan skala menengah. PT Bank HSBC Indonesia memperkenalkan skema HSBC Sustainability Improvement Loan (SIL) yang mengaitkan langsung besaran bunga pinjaman dengan penilaian ESG debitur.
“Kami meluncurkan HSBC Sustainability Improvement Loan sebagai solusi pembiayaan inovatif yang dirancang untuk mengatasi kesenjangan dan memperluas akses terhadap pembiayaan berkelanjutan bagi usaha menengah,” ujar Banking Director, Corporate and Institutional Banking, HSBC Indonesia Steve Andoko dalam keterangan, Selasa (11/11/2025).
Fasilitas SIL pertama kali disalurkan kepada PT Bambang Djaja (BD), produsen trafo daya, distribusi, dan instrumen trafo, serta PT Bahtera Adi Jaya (Bahtera), distributor bahan kimia khusus. Dana kredit akan dimanfaatkan sebagai modal kerja untuk mendukung perluasan bisnis keduanya dalam melayani klien multinasional.
Berbeda dengan kredit konvensional, bunga dalam skema SIL terhubung dengan skor ESG perusahaan berdasarkan penilaian EcoVadis. Lembaga ini disebut sebagai standar global untuk rantai pasok berkelanjutan dengan lebih dari 150.000 pemeringkatan ESG yang telah dilakukan.
Debitur yang mampu meningkatkan skor ESG berpeluang memperoleh penurunan suku bunga pinjaman. Sebaliknya, suku bunga dapat naik ketika skor ESG perusahaan justru menurun.
Struktur seperti ini memperkuat tren di mana perusahaan multinasional mensyaratkan mitra rantai pasok mereka mematuhi standar ESG global. Tekanan tersebut mulai dirasakan di berbagai sektor utama seperti manufaktur, agribisnis, dan energi yang bergantung pada kontrak dengan korporasi global.
Namun di lapangan, banyak perusahaan menengah yang baru memulai proses keberlanjutan justru kesulitan mengakses pembiayaan berlabel sustainability-linked loan (SLL). Keterbatasan kapasitas untuk mengukur, memantau, dan melaporkan kinerja ESG menjadi salah satu hambatan utama.
Melalui pemanfaatan skor EcoVadis, perusahaan menengah setidaknya memperoleh gambaran area yang sudah kuat dan area yang perlu dibenahi. Penilaian ini bisa menjadi dasar penyusunan strategi perbaikan, tetapi juga berpotensi menjadi “filter” baru dalam hubungan mereka dengan lembaga keuangan dan klien multinasional.
“Tujuan HSBC adalah mendukung bisnis agar dapat berkembang secara bertanggung jawab dan menavigasi kompleksitas transisi menuju ekonomi rendah karbon, sembari mengambil langkah awal yang berarti dalam mewujudkan ambisi keberlanjutan mereka,” tambah Steve.
Dari sisi lembaga pemeringkat, EcoVadis menilai pengaitan langsung antara kinerja ESG dan akses pembiayaan dapat mendorong perubahan perilaku di sepanjang rantai pasok. Insentif bunga dianggap mampu menjadi pendorong tambahan di luar tuntutan regulasi dan permintaan pasar.
“Sustainability Improvement Loan merupakan contoh yang baik yang menghubungkan langsung skema pembiayaan dengan kinerja rantai pasok, memberikan insentif bagi peningkatan keberlanjutan secara menyeluruh,” ujar Richard Bourne, Senior Vice President, Asia Pacific Japan, EcoVadis.
Di sisi lain, skema seperti SIL juga memunculkan tantangan baru bagi perusahaan menengah yang belum memiliki sistem pelaporan ESG yang memadai. Tanpa kesiapan internal, dorongan “memperbaiki skor” dikhawatirkan hanya berujung pada pemenuhan dokumen, bukan perubahan praktik nyata di tingkat operasional.
Bagi pelaku usaha yang mampu beradaptasi, pengaitan bunga dengan skor ESG bisa menjadi peluang untuk mendapatkan pembiayaan lebih murah sekaligus memperkuat posisi di rantai pasok global. Namun bagi yang tertinggal, standar keberlanjutan ini berpotensi menjadi hambatan tambahan di tengah tekanan biaya produksi dan persaingan pasar.

2 hours ago
3









































