Tak Bertumpu pada Malioboro, Pariwisata Yogya Diminta Kemas Paket Wisata Lebih Berkualitas

2 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didorong untuk lebih kreatif dalam mengemas paket wisata yang menarik. Selama ini, pariwisata Jogja dinilai masih terlalu tersentral di kawasan Malioboro yang kondisinya sudah sangat padat, sementara banyak destinasi lain yang memiliki nilai edukasi, sejarah, dan budaya belum tergarap optimal.

Ketua Komisi D DPRD DIY, RB Dwi Wahyu, menilai kolaborasi antara Dinas Pariwisata dengan dinas lainnya termasuk Dinas Kebudayaan menjadi kunci untuk mendorong pariwisata berkualitas yang mampu meningkatkan pendapatan daerah serta memberdayakan masyarakat. Menurutnta, Dinpar bisa memanfaatkan beragam potensi lintas organisasi perangkat daerah (OPD), khususnya sektor budaya.

"Bagaimana wisata datang di Jogja di liburan Nataru ini, pariwisata juga ikut memasarkan museum. Tidak hanya destinasi Malioboro saja, ada museum Vredeburg, ada museum Sonobudoyo, yang hari ini, wisata Nusantara itu belum melirik itu," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (22/12/2025).

Dwi menekankan pentingnya sinergi antarlembaga agar produk-produk budaya yang dimiliki Dinas Kebudayaan dapat dipasarkan secara maksimal oleh Dinas Pariwisata. Menurutnya, perencanaan aksi daerah pariwisata seharusnya tidak hanya berbicara soal event atau atraksi semata, melainkan juga memanfaatkan potensi OPD lain sebagai bagian dari menu wisata.

Ia menyoroti fenomena lonjakan wisatawan saat libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang ditargetkan mencapai 5–6 juta kunjungan. Menurutnya, angka tersebut tidak otomatis mencerminkan keberhasilan pariwisata jika tidak diiringi peningkatan transaksi ekonomi.

"Wisata di Jogja itu masih tersentral di Malioboro, maka kalau kita mengevaluasi banyaknya wisata Nataru ini kan targetnya 5-6 juta. Menurut saya itu kuantitasnya, bukan kualitas. Target kita adalah kualitas pariwisata yang harus membuahkan hasil terhadap PAD," ungkapnya.

Dwi juga mengingatkan agar Jogja tidak hanya mempersembahkan Malioboro sebagai ikon tunggal. Selama ini, ia mengamati aktivitas wisatawan yang datang ke kawasan tersebut rata-rata hanya berfokus pada swafoto tanpa transaksi, justru minim dampak ekonomi bagi UMKM dan masyarakat lokal.

"Maka jangan sampai wisata di Jogja hanya mempersembahkan Malioboro. Karena Malioboro nanti yang laris paling hanya potret-potret, swafoto, tidak ada transaksi dengan UMKM. Ini evaluasi loh, kok kayaknya wisatawan yang datang itu banyak sekali, tetapi pertanyaannya, transaksinya berapa ketika wisata itu banyak sekali di Jogja," ujarnya.

Penumpukan wisatawan di Kota Yogyakarta, khususnya Malioboro sejatinya kerap dibarengi berbagai event dari Dinas Kebudayaan maupun Dinas Pariwisata. Namun, tanpa narasi dan konsep yang kuat, event tersebut belum tentu berdampak pada transaksi.

Lebih jauh, Ketua Komisi D ini menegaskan bahwa pariwisata berkualitas harus diukur dari keseimbangan antara jumlah wisatawan dan transaksi ekonomi. Menurutnya, seluruh OPD sebenarnya memiliki potensi pendapatan yang bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata, termasuk sektor pendidikan.

"Apakah pendidikan bisa menjadi wisata? Bisa, kita punya Taman Pintar. Ini harus dikemas lebih baik lagi ke depannya sebagai menu paket wisata," ucapnya.

Sebagai informasi, Malioboro sebagai salah satu ikon wisata di Kota Yogyakarta mulai dipadati pelancong di hari-hari memasuki libur Nataru. Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta sebelumnya juga memprediksi sebanyak 7 juta wisatawan akan memasuki Kota Yogyakarta pada periode tersebut.

"Kenaikan volume lalu lintas rata-rata sebesar 20 persen dari lalu lintas harian rata-rata," ujar Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Agus Arif Nugroho.

Read Entire Article
Politics | | | |