Tarif AS Masih Mengancam Indonesia, BSI Siap Dorong Ekspor Halal Jadi Penopang Surplus

1 hour ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketegangan tarif Amerika Serikat yang berpotensi berlanjut hingga 2026 dinilai menjadi ujian baru bagi daya saing produk halal Indonesia di pasar global. Di tengah tarik-menarik negosiasi tarif dengan Washington, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) melihat ekosistem halal sebagai penopang utama surplus perdagangan RI sekaligus bantalan risiko bagi ekspor.

Wakil Direktur Utama BSI Bob Tyaska Ananta menyatakan perseroan terus mendorong penguatan rantai nilai halal, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di kancah global. Ia memperkirakan laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2025 akan menempatkan isu perdagangan halal sebagai sorotan utama, terutama di tengah perubahan peta dagang dunia akibat kebijakan tarif AS.

“BSI terus berkomitmen mendorong halal ekosistem baik di Indonesia maupun di kancah global. Kami memperkirakan SGIE Report 2025 kemungkinan akan menyoroti aspek trade, tepatnya penguatan halal trade di tengah perubahan lanskap perdagangan global,” terang Bob dalam pesan singkatnya kepada Republika, Kamis (11/12/2025).

Menurut Bob, adanya ketegangan tarif Amerika Serikat pada 2025 dan diprediksi berlanjut di 2026 membuat banyak negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, semakin fokus pada daya saing produk halal di pasar global. “Dalam konteks itu, sektor halal food, modest fashion, dan halal pharmaceuticals & cosmetics berperan sebagai pendorong ekspor negara-negara OIC,” tuturnya.

Di sisi lain, keuangan syariah akan meneruskan tren pertumbuhan yang kuat secara global, di antaranya didorong oleh kemungkinan peningkatan permintaan pembiayaan perdagangan, investasi di sektor halal value-chain, dan pendalaman instrumen keuangan syariah, khususnya sektor perbankan dan pasar modal.

“Perihal digital halal lifestyle, aspek ini juga memiliki peluang akselerasi, terutama sektor e-commerce untuk produk halal (food and pharmaceutical & cosmetics), dan juga muslim-friendly tourism yang menjadi hub pertumbuhan konsumsi produk halal,” lanjut Bob.

Dengan demikian, narasi SGIE tahun ini kemungkinan tak hanya menekankan pertumbuhan sektor halal dari segi konsumsi, tetapi juga bagaimana halal trade dan Islamic finance membentuk ulang ketahanan ekonomi negara-negara Muslim di tengah risiko perdagangan global.

Meskipun ketidakpastian tarif mereda menjelang akhir 2025, kebijakan tarif pemerintahan Presiden Trump diprediksi tetap menjadi faktor risiko yang membentuk lanskap perdagangan pada 2026. Di tengah risiko tersebut, Indonesia diprediksi melanjutkan tren surplus perdagangan, salah satunya melalui ekspor produk halal.

“Produk halal berkontribusi lebih dari 20 persen dari total ekspor barang nonmigas Indonesia, menjadi salah satu faktor yang memperlebar surplus neraca perdagangan. Potensi produk ekspor halal Indonesia diproyeksikan tetap terbuka dengan dominasi di sektor halal food dan modest fashion, dengan tujuan ekspor utama ke Amerika Serikat, China, dan India,” ungkapnya.

Di saat peran ekspor halal kian strategis, kesepakatan dagang Indonesia–Amerika Serikat untuk menurunkan tarif ekspor RI ke AS menjadi 19 persen dari ancaman 32 persen justru berada di ujung tanduk. Seorang pejabat AS menyebut Jakarta mundur dari sejumlah komitmen yang disepakati pada Juli 2025 sehingga perundingan berisiko kolaps.

Pemerintah Indonesia menepis anggapan bahwa Jakarta sengaja menarik diri dari komitmen. Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto menegaskan dinamika negosiasi masih dalam batas kewajaran.

“Perundingan dagang Indonesia dan Amerika Serikat masih berproses, tidak ada permasalahan spesifik dalam perundingan yang dilakukan, dinamika dalam proses perundingan adalah hal yang wajar,” ujar Haryo Limanseto kepada Republika, Kamis (11/12/2025).

Haryo menambahkan, pemerintah ingin segera mengakhiri ketidakpastian tarif yang membayangi pelaku usaha. “Pemerintah Indonesia berharap kesepakatan dapat segera selesai dan menguntungkan kedua belah pihak,” ungkap Haryo.

Dikonfirmasi terpisah perihal hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai negosiator utama Indonesia menyebut komunikasi dengan perwakilan dagang AS (USTR) masih berlanjut. Namun, ketika ditanya apakah ada virtual meeting dengan USTR, Airlangga menjawab singkat, “Nanti malam,” singkatnya di kantornya kepada wartawan, Kamis sore.

Ditanya perihal rencana penyampaian pernyataan resmi, ia hanya mengatakan, “Ya.”

Saat kembali dicecar soal poin penghalang dalam perundingan, Airlangga menutup singkat, “Ya nanti. Besok saja (Jumat).”

Diketahui, kerangka kesepakatan yang diumumkan pada Juli 2025 memuat komitmen Indonesia menghapus tarif impor atas lebih dari 99 persen barang AS serta meniadakan hambatan non-tarif bagi perusahaan Amerika. Sebagai imbalannya, Washington memangkas tarif produk Indonesia menjadi 19 persen, level yang krusial bagi ekspor bernilai tambah, termasuk produk halal food dan modest fashion.

Namun, pejabat AS yang mengetahui detail perundingan menyebut Indonesia meminta sebagian komitmen tidak dibuat mengikat dan ingin membingkai ulang sejumlah klausul. Pemerintah AS menilai langkah itu akan membuat hasil akhir lebih buruk bagi Washington dibanding kesepakatan yang baru dicapai dengan Malaysia dan Kamboja.

Sumber pemerintah Indonesia menyatakan masih diperlukan harmonisasi bahasa dalam dokumen sebelum kesepakatan difinalkan. Sementara itu, laporan Financial Times yang dikutip Reuters menyebut AS menyoroti dugaan kemunduran RI dalam penghapusan hambatan non-tarif, termasuk untuk produk industri, pertanian, dan isu perdagangan digital.

Read Entire Article
Politics | | | |