Oleh : Prof Mohammad Muslih
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Judul ini bukan sekadar gagasan akademik, tetapi sebuah kegelisahan intelektual sekaligus harapan spiritual, tentang bagaimana kita sebagai umat beragama dan masyarakat ilmiah dapat menemukan pola hubungan yang harmonis, pola hubungan yang cantik, antara agama dan sains.
Saya menyadari, sebagaimana disadari oleh banyak ilmuwan dan para agamawan, bahwa dikotomi antara keimanan dan rasionalitas, antara wahyu dan akal, antara ajaran agama dan kehidupan, bukanlah sesuatu yang harus dilanggengkan. Justru di situlah medan baru bagi kita untuk berpikir dan berinovasi secara teologis dan ilmiah.
Dimensi Baru bagi Sains
Selama ini, dalam paradigma ilmu modern, demi objektivitas dan demi memenuhi kriteria ilmiah, sains dianggap harus dijaga dari segala bentuk subjektivitas. Bahkan lebih dari itu, pandangan dominan menekankan bahwa sains seharusnya steril dari unsur tradisi, budaya, apalagi agama dan keimanan.
Di sisi lain, agama pun harus dijaga agar tidak "ternodai" oleh pendekatan saintifik atau apa-apa yang bersifat rasional, karena dikhawatirkan hal tersebut hanya akan mengikis makna transenden dari agama dan bahkan bisa-bisa menggoyahkan fondasi iman. Pola pikir ini nyatanya telah membuat sekat tebal antara wilayah sains dan agama, seolah keduanya berdiri di dua dunia yang tak mungkin disatukan.
Namun, pemahaman semacam itu kini mengalami rekonstruksi. Sains dan proses pengembangan ilmu, ternyata tidak sepenuhnya netral dan objektif, melainkan selalu berada dalam suatu konteks sosial, budaya, bahkan agama. Tradisi, nilai, dan keyakinan sering kali membentuk kerangka berpikir ilmiah, secara implisit maupun eksplisit.
Dalam konteks ini, agama dan ajaran keimanan justru dapat menjadi elemen integral dalam pembangunan struktur keilmuan, bukan sebagai lawan, tetapi sebagai fondasi nilai dan arah. Maka dari itu, setelah sebelumnya sains berkembang melalui dimensi logika, bahasa, sosiologi, antropologi, dan sejarah, kini muncul satu dimensi baru yang tak kalah penting, yaitu dimensi teologis. Inilah yang disebut sebagai teologi sains, sebagai sebuah dimensi baru pengembangan ilmu.
Lebih jauh, agama tidak hanya hadir sebagai bingkai nilai bagi sains, tetapi juga sebagai muharrik atau penggerak utama dari kerja-kerja ilmiah dan produktivitas manusia secara umum. Dalam pemahaman ini, agama menempatkan aktivitas ilmiah sebagai manifestasi dari iman; kerja keras, menjalani hidup benar, dan melakukan riset dan inovasi ilmiah menjadi bentuk nyata dari ekspresi keimanan.
Dengan demikian, iman bukanlah hambatan bagi ilmu, tetapi energi spiritual yang menyuburkan pencarian ilmiah dan membimbingnya agar tidak terlepas dari tujuan luhur kemanusiaan dan kehambaan kepada Allah swt.