Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil lima orang dari biro perjalanan haji. Mereka dipanggil dalam kapasitas sebagai saksi kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama (Kemenag) RI tahun 2023-2024.
“Pemeriksaan atas nama MR selaku Direktur Utama PT Saudaraku; AJ selaku Staf Operasional Haji PT Menara Suci Sejahtera; SRZ selaku Direktur PT Al Andalus Nusantara Travel; ZA selaku Direktur PT Andromeda Atria Wisata; dan AF selaku Direktur PT Dzikra Az Zumar Wisata,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mendetailkan identitas para saksi di Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Lebih lanjut, ia mengatakan, pemeriksaan terhadap kelima saksi tersebut bertempat di Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Keterangan dari para saksi dibutuhkan lembaga anti-rasuah ini untuk menyidiki kasus tersebut.
Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kemenag RI periode 2023–2024. Itu dimulai sejak 9 Agustus 2025.
Pengumuman dilakukan KPK setelah meminta keterangan mantan menteri agama (menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas, pada 7 Agustus 2025.
Saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut, yakni mencapai lebih dari Rp1 triliun. Pihaknya juga mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri. Di antara mereka ialah Yaqut Cholil Qoumas.
Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024.
Poin utama yang disorot Pansus adalah pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi sebanyak 20 ribu kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Saat itu, Kemenag RI membagi kuota tambahan sebagai berikut: sebanyak 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu sisanya untuk haji khusus.
Hal itu ternyata tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Beleid ini mengatur, kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.
sumber : Antara