REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menanggapi aksi saling lapor dalam kisruh ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melaporkan dugaan ijazah palsu Jokowi ke Bareskrim Polri, sedang Jokowi melaporkan lima orang ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah.
Mahfud menekankan dikarenakan pengaduan Jokowi ke Polda soal pencemaran nama baik lantaran ada tuduhan ijazah palsu dan sebagainya, maka laporan TPUA di Bareskrim sebagai pidana utama harus lebih dulu diputus. Sebab, selesainya perkara di Bareskrim akan menentukan perkara di Polda Metro Jaya.
“Maka, seharusnya yang diputuskan lebih dulu itu yang perkara utamanya, yang Bareskrim, karena kalau Bareskrim menyatakan benar bahwa ini palsu, berarti perkara di sana gugur, kalau ini tidak benar, perkara di sana lanjut,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang Mahfud MD disimak pada Rabu (7/5/2025).
Mahfud menjelaskan alasan perkara di Bareskrim harus diselesaikan terlebih dulu. Sebab kalau ternyata laporan itu benar bahwa ada ijazah yang palsu, maka laporan Jokowi di Polda Metro Jaya tentang pencemaran nama baik karena ada tuduhan ijazah palsu otomatis tidak bisa lanjut.
Polda, lanjut Mahfud, baru bisa melanjutkan laporan Jokowi tentang pencemaran nama baik karena tuduhan ijazah palsu, jika Bareskrim menyatakan ijazah yang dimaksud itu asli. Sebab, ia mengingatkan, laporan di Polda memang pidana ikutan, dan laporan di Bareskrim yang merupakan pidana utamanya.
“Oleh sebab itu, sebaiknya memang ditunggu yang Bareskrim terlebih dulu, lalu di sini ada yurisprudensi, bahwa harus dimulai dari satu kasus tindak pidana utamanya dulu, yang di Polda dilaporkan Pak Jokowi itu kan tindak pidana ikutan, tindak pidana utamanya kan laporan TPUA ke Bareskrim,” ujar Mahfud.
Terkait pencemaran nama baik dan fitnah, Mahfud menyampaikan Pasal 310 ayat 3 KUHP. Mahfud menekankan pentingnya tertib berhukum, termasuk ketika ada dua perkara terkait.
"Harus tertib mana perkara utama yang lebih dulu diputus, mana yang perkara ikutan," ujar Mahfud.
Sehingga Mahfud menilai harus dilihat pidana utamanya dulu baru pidana ikutannya. Kalau pidana utama sudah final, apapun putusan akan menentukan.
"Ini untuk tertib hukum, kadang kala orang mencampur aduk, perdata, tata usaha negara, pidana, pidana pun ada khusus, pidana umum, pidana utama, pidana ikutan, harus jelas penanganannya,” ujar Mahfud