Babak Baru Reformasi Penyelenggaraan Haji

4 hours ago 4

Oleh: Hasanul Rizqa

Dalam konteks hubungan antara negara dan umat Islam, haji menjadi salah satu pokok bahasan yang selalu ada. Sejak masa kepemimpinan presiden RI pertama, Sukarno, negara mulai mengatur penyelenggaraan ibadah massal tersebut.

Hal itu ditandai dengan keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Peran negara kian kuat sejak Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969, yang isinya menegaskan, pemerintah mengambil alih semua proses penyelenggaraan perjalanan haji.

Sejak Era Reformasi, mulailah muncul produk hukum yang berupa undang-undang (UU) terkait penyelenggaraan haji. UU Nomor 17 Tahun 1999 memandatkan tugas pelayanan, pembinaan, dan perlindungan jamaah haji kepada pemerintah.

Sejak masih mengajukan diri sebagai calon presiden RI, Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menyinggung tentang perbaikan tata kelola haji. Sebelum gelaran Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu sudah mewacanakan perlunya Lembaga Tabungan Haji. Itu bertujuan meringankan pembiayaan bagi Muslim Indonesia yang ingin menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Kini, satu tahun berlalu sejak Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden RI kedelapan. Tahun 2025 menyaksikan babak baru dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.

Tepatnya sejak tanggal 26 Agustus 2025, DPR RI menyetujui rancangan undang-undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Salah satu mandat dari beleid baru itu adalah pembentukan Kementerian Haji dan Umrah RI.

Kementerian baru ini mengonsolidasikan semua kewenangan terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang sebelumnya tersebar di berbagai unit, termasuk Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI, Badan Penyelenggara (BP) Haji, serta unit kerja di kantor wilayah Kementerian Agama (Kemenag) di daerah.

Mochamad Irfan Yusuf Hasyim atau Gus Irfan yang sebelumnya menjadi Kepala BP Haji kemudian dilantik menjadi Menteri Haji dan Umrah pada 8 September 2025. Begitu pun Wakil Kepala BP Haji menjadi Wakil Menteri (Wamen) Haji dan Umrah. Pelantikan tersebut bersamaan dengan perombakan (reshuffle) Kabinet Merah Putih kali kedua sejak dimulainya era Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran.

Menurut Wamen Haji dan Umrah Dahnil Anzar Simanjuntak, perubahan nomenklatur BP Haji menjadi Kementerian Haji dan Umrah merupakan bagian dari visi Presiden Prabowo Subianto. Bahkan, visi itu sudah ada semenjak Ketua Umum Partai Gerindra itu mencalonkan diri pada Pilpres 2014.

"Sejak 2014, Pak Prabowo sudah memiliki visi membentuk Kementerian Haji dan Umrah. Hal itu konsisten hingga Pilpres 2019 dan 2024," ujar Dahnil di Jakarta, dikutip Antara pada 23 Agustus 2025.

Visi tersebut mulai mewujud tindakan nyata usai Prabowo dilantik menjadi presiden RI pada 20 Oktober 2024. Karena "terbentur" UU Nomor 8/2019 yang menetapkan penyelenggara ibadah haji adalah Kemenag RI, kata Dahnil, maka dibentuklah BP Haji sebagai solusi transisi.

Dengan demikian, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah sebagai kelanjutan dari BP Haji itu bukanlah reaksi sesaat terhadap dinamika beberapa tahun terakhir. Ini menjadi bagian dari agenda reformasi haji yang sudah lama dirancang oleh Prabowo.

"Sejak awal, pembentukan kementerian ini adalah bagian dari perbaikan tata kelola haji yang menjadi komitmen Pak Prabowo," ujar politikus Partai Gerindra yang juga mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah itu.

Bahkan sejak masih menjadi wacana, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah sudah disambut positif oleh pelbagai pihak. Beberapa bulan sebelum pelantikan presiden RI periode 2024-2029, Wakil Ketua Umum PP Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), KH Anshori menyambut baik diskursus pendirian kementerian yang khusus bertugas mengurus penyelenggaraan haji.

"Untuk haji, harus ditangani secara khusus dari sisi lembaga. Apakah bentuknya departemen, kementerian atau non-kementerian. Saya kira kalau itu dilakukan, sangat bagus," ujar Kiai Anshori dalam diskusi publik bertajuk "Menelaah Inovasi Haji" yang digelar Jaringan Muslim Madani (JMM) pada 16 Agustus 2024.

Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menyatakan optimisme, Prabowo sebagai presiden terpilih hasil Pilpres 2024 dapat membentuk Kementerian Haji dan Umrah. "Amphuri mengapresiasi jika pemerintahan yang akan datang, di bawah Prabowo Subianto ini, betul-betul bisa merealisasikan terbentuknya Kementerian Haji dan Umrah," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Amphuri Firman M Nur pada 10 Oktober 2024.

Lebih lanjut, Amphuri memaparkan sejumlah alasan mendukung hadirnya Kementerian Haji dan Umrah. Pertama, RI adalah pengirim jamaah haji dan umrah terbesar di dunia. Sebagai gambaran, kuota haji pada 2025 sebesar 221 ribu orang, sedangkan jamaah umrah dari Indonesia tiap tahun bisa mencapai 1,4 juta hingga 2 juta orang. "Negara kecil seperti Afghanistan saja ada Kementerian Haji, apalagi Indonesia dengan jumlah jamaah haji dan umrah terbesar di dunia," demikian petikan pernyataan tertulis Amphuri pada 26 Agustus 2025.

Kedua, bila Arab Saudi memiliki lembaga setingkat kementerian sebagai penyelenggara haji dan umrah, sebaiknya RI pun demikian. Adanya Kementerian Haji dan Umrah RI dinilai memperkuat hubungan antar-pemerintah (government to government/G to G) Indonesia dan Kerajaan.

Ketiga, eksistensi kementerian itu akan mengurangi beban tugas Kemenag RI. Saat haji masih diurus Direktorat Jenderal PHU, Kemenag pada waktu yang sama juga mesti mengurus pendidikan agama, pesantren, keluarga sakinah, zakat, wakaf, kerukunan umat, dan lain-lain. Dengan adanya Kementerian Haji dan Umrah, otomatis penyelenggaraan haji dan umrah dapat diurus secara lebih terfokus.

Pentingnya penyelenggaraan haji diurus oleh pihak yang bertumpu fokus pada satu hal saja seolah-olah terbukti pada musim haji 1446 H/2025 M. Berbagai masalah terjadi ketika itu, di luar problem-problem "klasik" pelaksanaan haji Indonesia. Misalnya, penerapan multi-syarikah.

Ini menyebabkan kebingungan bagi jamaah Indonesia selama di Arab Saudi. Sebab, pengorganisasian jamaah RI yang sudah ditentukan dengan pembagian kelompok terbang (kloter) saat masih di Tanah Air berubah drastis begitu mereka berada di Tanah Suci. Imbasnya, tak sedikit anggota jamaah yang terpisah dari rombongannya. Bahkan, "perpisahan" itu dialami oleh jamaah lanjut usia (lansia) atau risiko tinggi (risti) dengan pendampingnya, baik anak, suami/istri, ataupun saudara kandung.

Aplikasi multi-syarikah juga memicu kasus jamaah RI tertinggal rombongan. Ada pula yang mengalami koper atau barang bawaannya diturunkan di hotel yang bukan tempatnya menginap.

"Banyak masalah gara-gara ada banyak syarikah itu. Contohnya, jamaah di kloter kita banyak yang pisah-pisah. Bahkan saya dan istri saya akhirnya juga pisah hotel. Petugas-petugasnya juga belum siap saat kami sampai ke hotel. Ditanyai banyak yang tidak tahu,” demikian kesaksian seorang jamaah haji RI asal Rembang, Jawa Tengah, saat dihubungi Republika dari Jakarta pada 11 September 2025.

Konsep syarikah (harfiah: perseroan terbatas/PT) sesungguhnya sudah diperkenalkan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sejak tahun 2023. Tujuannya menyediakan layanan kepada jamaah haji dari pelbagai penjuru dunia secara lebih profesional; mulai dari kedatangan hingga kepulangan mereka ke negeri masing-masing.

Syarikah adalah perusahaan swasta yang mendapatkan izin resmi dari Kerajaan untuk melayani jamaah haji. Sebelum adanya konsep syarikah, layanan bagi jamaah haji---khususnya selama mereka di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna)---disediakan oleh muassasah, yakni lembaga nonswasta-utuh atau seperti badan usaha milik daerah (BUMD) setempat.

Pada 2024 lalu, hanya ada satu syarikah untuk seluruh jamaah haji RI. Namun pada musim haji 1446 H/2025 M, ada delapan syarikah yang melayani para tamu Allah asal Indonesia. Kehadiran delapan syarikah itu sesungguhnya bertujuan memaksimalkan pelayanan sehingga jamaah RI lebih nyaman beribadah di Tanah Suci. Akan tetapi, seperti terungkap pada pekan-pekan awal mereka di Saudi, hal itu jauh panggang dari api.

Ada pula problem-problem lain yang "mewarnai" penyelenggaraan haji tahun ini. Di antaranya bahkan diungkapkan oleh pihak BP Haji sendiri, yang ikut memantau langsung pelayanan kepada jamaah haji RI selama di Saudi.

Dahnil yang saat itu masih menjabat wakil kepala BP Haji mengaku menemukan dugaan pungutan liar (pungli). Teganya, praktik itu menyasar jamaah lansia.

Temuan itu muncul tatkala Dahnil melakukan kunjungan ke kawasan Aziziyah, Makkah, yakni tempat hotel transit jamaah haji lansia yang safari wukuf. Ada sejumlah anggota jamaah lansia yang mengungkapkan bahwa mereka diharuskan membayar sejumlah uang demi mendapatkan layanan safari wukuf dan badal ibadah, padahal seluruh layanan tersebut semestinya diberikan secara gratis.

"Ada yang nabung jual sawah, jual sepeda motor, berjuang bertahun-tahun demi bisa berhaji. Kok tega-teganya memperdaya orang-orang tua kita seperti ini," ucap Dahnil di Makkah, Arab Saudi, pada 9 Juni 2025.

Terpisah, Gus Irfan selaku Kepala BP Haji telah melakukan pertemuan dengan Deputi Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi di Jeddah pada awal Juni 2025. Kabar buruk mencuat usai pertemuan itu: ada wacana dari Kerajaan untuk mengurangi kuota haji RI hingga 50 persen.

"Karena performance kita (Indonesia) tahun ini sangat tidak memuaskan sehingga ada keinginan, ada usulan dari beberapa orang tim Saudi untuk mengurangi kuota kita," ujar Gus Irfan dalam pernyataan yang diterima Republika di Jakarta pada 11 Juni 2025.

"Tapi kita sampaikan ke mereka bahwa jangan begitu-lah,” sambung dia.

Read Entire Article
Politics | | | |