REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 tetap berada pada kisaran 3 persen. BI menilai ketidakpastian perekonomian global sedikit mereda, meskipun masih tinggi akibat dinamika negosiasi tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan sejumlah indikator menunjukkan kebijakan tarif AS berdampak pada perlambatan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi di negara maju seperti AS, Eropa, dan Jepang terus melambat, meskipun didukung kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter.
Adapun ekonomi China diperkirakan turut melambat akibat turunnya ekspor, khususnya ke AS, serta melemahnya permintaan domestik. Sebaliknya, ekonomi India diproyeksikan tetap tumbuh kuat, didorong oleh tingginya aktivitas investasi.
“Dengan perkembangan tersebut, prospek pertumbuhan ekonomi dunia 2025 tetap sebesar 3 persen,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Selasa (18/6/2025).
Ia melanjutkan, tekanan inflasi di AS mulai menurun seiring dengan perlambatan ekonomi. Namun, inflasi pada kelompok barang meningkat akibat kebijakan tarif, sehingga memperkuat ekspektasi pasar terhadap arah penurunan Fed Funds Rate (FFR) ke depan.
Di pasar keuangan global, Perry menyebut, terjadi pergeseran arus modal dari AS ke aset yang dinilai lebih aman dan juga ke aset keuangan negara berkembang. Hal ini menyebabkan pelemahan indeks dolar AS terhadap mata uang negara maju (DXY) maupun negara berkembang (ADXY).
“Ke depan, ketidakpastian global masih akan tetap tinggi akibat negosiasi tarif yang belum selesai antara AS dan sejumlah negara, serta eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah,” ujarnya.
Perry menekankan, kondisi ini menuntut respons kebijakan yang cermat, serta koordinasi yang erat untuk menjaga ketahanan eksternal, stabilitas nilai tukar, dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai informasi, dalam RDG Mei 2025 lalu, BI menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 2,9 persen (proyeksi April) menjadi 3 persen. Revisi tersebut dilandasi oleh kesepakatan sementara antara AS dan China untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari. Proyeksi tersebut tetap dipertahankan dalam RDG Juni 2025.