
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- JIka Anda berpikir invasi Jepang ke Indonesia berhenti di zaman Showa dengan seragam militer dan sepatu lars, pikirkan lagi.
Kini mereka datang bukan dengan kapal perang, tapi dengan panel surya—dan bukan panel biasa. Ini "panel dewa", bahkan "dewanya dewa."
Betapa tidak, panel surya buatan Jepang ini diklaim mampu menghasilkan energi setara 20 reaktor nuklir, tapi cukup lentur untuk dilipat dan dijadikan taplak meja atau mungkin... jadi sarung? Ia bisa digunakan di area yang tidak datar, dan cukup murah untuk diproduksi.
Panel surya ini diproyeksikan menghasilkan listrik sebesar 20 gigawatt pada tahun 2040. Nah, 20 gigawatt kira-kira setara dengan energi yang dihasilkan oleh 20 reaktor nuklir.
Baca juga: Usung Nilai Budaya, Evenciio Apartement Depok Perkenalkan Tarian Reok Ponorogo ke Mahasiswa Asing
Biaya energi surya perovskite bisa 100 kali lebih murah dari reaktor nuklir dan jauh lebih cepat dipasang.
Biaya membangun reaktor nuklir 1 gigawatt antara $9 miliar – $28 miliar, dengan waktu pembangunan antara 10–15 tahun, plus risiko tinggi (kecelakaan, limbah radioaktif, keamanan). Sementara biaya energi surya perovskite 1 gigawatt antara 130 hingga 65 juta dolar.
Target Jepang jelas: tahun 2050 menjadi negara dengan emisi nol. Ya, Anda tidak salah dengar. Jepang telah menemukan teknologi panel surya berbasis perovskite—bahan mineral sintetis yang bukan hanya murah dan ringan, tapi juga super efisien.
Salah satu bahan utama dalam perovskite ini adalah iodin, yang berperan dalam meningkatkan efisiensi konversi energi. Jika silikon konvensional hanya mampu menangkap cahaya dengan efisiensi 29%, perovskite bisa mencapai 43%.
Baca juga: Ratusan Calon Dokter Muda FK Universitas Cenderawasih Terancam DO
Jepang putar haluan setelah dihantam gempa dan tsunami 2011, yang diikuti tragedi Fukushima. Dari negara yang dulu _needy_ soal bahan bakar, mereka kini hendak menjadi eksportir energi—tanpa satu tetes bensin.
Mereka tidak sekadar membuat panel surya lebih canggih, tapi juga memastikan bahan bakunya tetap berada dalam kendali mereka.
Ternyata, Jepang adalah produsen iodin terbesar di dunia, dengan sumber utama dari air garam bawah tanah di pesisir timur Jepang, terutama di Chiba dan Kumamoto. Mereka menguasai sekitar 30% produksi iodin global, mengalahkan Chili dan AS.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara maritim dengan garis pantai lebih panjang dari antrean promo BTS Meal, Indonesia seharusnya punya potensi besar untuk mengekstrak iodin dari air laut maupun lumpur vulkanik.
Baca juga: Gerakan Wisata Bersih, Jaga Kebersihan, Kelestarian dan Keberlanjutan Destinasi Wisata
Namun, produksi iodin di Indonesia nyaris tidak ada. Kita masih mengimpornya. Dan kita hanya menggunakannya sebagai bahan tambahan garam beryodium, bukan sebagai komponen industri strategis. Hello BRIN, apakah Anda punya penelitian soal ini?
Dari segi strategi, Jepang tidak main-main. Tahun 2030 tinggal sekejap lagi, dan mereka menargetkan dominasi di pasar energi surya global. Ketika mobil Jepang sudah merajai jalanan Indonesia sejak era Soeharto, kali ini mereka akan merajai atap rumah kita.
Bayangkan sebuah masa depan di mana orang Jepang bisa berjalan-jalan di Shibuya dengan jaket bertenaga surya, sementara kita masih sibuk berdebat soal PLTU batu bara yang makin ketinggalan zaman. Anda tahu, udara Jakarta gelap dikirimi polusi dari Banten?
Pada tahun 2050, Jepang menargetkan nol emisi karbon. Dengan keunggulan teknologi ini, mereka tidak hanya mandiri secara energi, tetapi juga berpotensi menjadi eksportir listrik. Biaya produksinya sudah murah, tidak menimbulkan polusi pula.
Baca juga: Catatan Cak AT: Gunakan Ponsel Sebagai Jembatan Makna
Jika skenario ini benar-benar terjadi, maka Jepang tidak hanya akan menjual mobil ke Indonesia, tetapi juga menjual sinar matahari yang ironisnya setiap hari menyinari negeri kita seterang-terangnya. Nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian dustakan? Astaghfirullah.
Di sisi lain, Indonesia masih sibuk dengan swasembada pangan, yang tentu saja penting. Tetapi jika kita terus menunda masuk ke arena swasembada energi, bukan tidak mungkin kita akan menjadi sekadar konsumen energi Jepang di masa depan.
Apakah kita siap melihat panel surya Jepang mendominasi atap rumah kita, sementara kita sendiri hanya menjadi pasar abadi? Mungkin saatnya kita berhenti menjadi balkon tempat menjemur cahaya matahari dan mulai mengolahnya sendiri sebelum Jepang kembali datang, kali ini bukan membawa kapal perang, tapi membawa listrik.
Ketika saat itu tiba, sambil Jepang sibuk melipat-lipat panel surya canggih mereka, kita masih sibuk melipat harapan. Pemerintahan Prabowo sedang fokus pada swasembada pangan, dan itu memang penting. Tapi apakah kita mau kenyang nasi, tapi tetap mati lampu?
Baca juga: Majelis Alimat Indonesia Berhalal bi Halal di Galeri Dewi Motik
Indonesia adalah negeri yang secara geografis sudah ditakdirkan Tuhan jadi ladang surya, rahmat yang dahsyat. Matahari berlimpah 365 hari setahun, kadang terasa seperti 730 hari saking panasnya. Tapi apa gunanya semua itu jika tidak ada teknologi untuk menangkapnya?
Alih-alih mengembangkan teknologi seperti perovskite, kita justru masih sibuk memperdebatkan mana yang lebih cocok: panel surya atau gorengan sebagai sumber panas. Tentu belum hilang dari pandangan mata kita, saat ribuan orang berjejal antre membeli gas.
Apakah kita akan jadi pasar lagi? Tentu saja. Sudah menjadi pola: Jepang bikin mobil, kita beli. Jepang bikin motor, kita borong. Jepang bikin toilet canggih, kita tonton review-nya di YouTube. Jepang jual segala produk anime, kita yang berdecak kagum tanpa mata berkedip.
Dan sekarang, saat mereka menciptakan "panel surya lipat" yang bisa dipasang di tas sekolah anak-anak, kita bersiap jadi... pasar lagi. Atau lebih parah: hanya jadi teras rumah tempat cahaya matahari lewat, tapi tak pernah diubah jadi listrik.
Kenapa ini penting? Karena perovskite bukan sekadar penemuan sains, tapi potensi dominasi ekonomi masa depan. Jepang tidak hanya membuat panel surya yang lebih murah dan efisien. Mereka juga mengontrol pasokan bahan bakunya.
Baca juga: Catatan Cak AT: Gunakan Ponsel Sebagai Jembatan Makna
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, stop jadi penonton. Energi surya seharusnya bukan barang mewah di Indonesia. Pemerintah harus menciptakan insentif besar-besaran untuk riset dan produksi panel surya lokal, termasuk mendorong universitas dan BUMN masuk ke ranah teknologi tinggi ini.
Sudah saatnya kita mengembangkan iodin sendiri. Indonesia punya potensi besar untuk mengekstrak iodin dari laut dan lumpur vulkanik. Ini bisa jadi bahan utama untuk industri perovskite lokal.
Berikutnya, jadikan energi surya sebagai proyek strategis nasional. Swasembada energi sama pentingnya dengan swasembada pangan. Energi masuk kebutuhan pokok. Kita bisa mulai dengan proyek perovskite skala kecil dan menengah di daerah-daerah dengan akses listrik terbatas.
Terakhir, jangan puas hanya jadi "tukang jemur." Saat Jepang melipat matahari ke dalam kantong mereka, kita tak boleh terus-menerus melipat tangan. Jika tidak, jangan salahkan nanti kalau tagihan listrik kita dibayar... ke Jepang. Lagi. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 27/4/2025