Catatan Cak AT: Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Tak Lagi Dikenali (2/5)

12 hours ago 6
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Tak Lagi Dikenali, Gaza dalam Kesaksian Jean Pierre Filiu. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ketika Filiu masuk Gaza, ia tidak menemukan kota, hanya puing dan kenangan yang patah. Tak ada lagi jalan, tak ada lagi peta. Hanya reruntuhan yang mengabarkan: di sini pernah ada kehidupan. Di sini, kini, hanya luka yang bicara.

Saat seorang sejarawan yang telah menelusuri banyak wilayah konflik di Timur Tengah berkata bahwa tak ada satu pun dari pengalamannya yang mempersiapkan dirinya untuk Gaza, kita patut berhenti sejenak.

Jean Pierre Filiu, bukan sekadar pengamat dari kejauhan, melainkan seorang saksi yang memaparkan kehancuran dengan ketelitian klinis —bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membunyikan alarm bagi dunia yang terlalu lama diam.

Baca juga: Trump Turunkan Tarif 32 Persen Menjadi 19 Persen, Kini Indonesia Memiliki Sejumlah Pekerjaan Rumah

Dalam kunjungannya ke Gaza pada Desember 2024, Filiu masuk melalui konvoi medis dari Médecins Sans Frontières. Perjalanan itu sendiri, menurutnya, sudah menyerupai film horor.

Saat matahari terbit, realitas yang muncul lebih mengerikan dari segala yang bisa dibayangkan. Jalanan begitu sepi hingga orang-orang yang trauma bahkan tak merespons klakson mobil. Mereka berjalan dalam diam, tak mendengar, mungkin juga tak merasa.

Filiu menggambarkannya sebagai ruang hidup di mana setiap manusia hanya punya rata-rata satu setengah meter persegi untuk bertahan.

Gaza, dalam pandangannya, bukan hanya zona perang. Ia adalah kuburan hidup bagi dua juta manusia yang diburu, dibom, dan dilaparkan —dengan senjata, dengan embargo, dan dengan kebungkaman dunia.

Baca juga: Catatan Cak AT: Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Menembus Batas (1/5)

"Tanah yang saya kenal tak lagi ada. Kata-kata tak bisa menggambarkan apa yang tersisa dari Gaza," tulisnya, menyimpulkan kesaksiannya.

Seorang tua di jalan pesisir membandingkan nasib dirinya dan keluarganya dengan domba-domba yang diberi makan cukup hanya agar bisa disembelih saat Iduladha. Perumpamaan yang mungkin terdengar ekstrem —kecuali jika Anda berdiri di tengah Gaza, seperti yang dilakukan Filiu.

Salah satu pemandangan paling mengerikan yang ia saksikan adalah saat Israel menggusur makam-makam, lalu truk-truk mereka mengembalikan mayat-mayat yang telah membusuk, terkoyak, bercampur tanah dan plastik, ke rumah sakit-rumah sakit Gaza. Rumah sakit yang tidak lagi layak disebut fasilitas medis.

Filiu menggambarkan tempat itu sebagai "ladang pembantaian," di mana bayi mati karena hipotermia dan dehidrasi, para perawat jadi sasaran penembak jitu, dan gedung-gedung pendidikan seperti perpustakaan dan universitas dihancurkan secara sistematis.

Baxa juga: Jokowi Harus Buktikan Kekuatan Besar di Balik Tuduhan Ijazah Palsu dan Pemakzulan Gibran

Pemandangan itu, menurutnya, bukan sekadar hasil dari perang. Itu hasil dari pilihan ideologis: sebuah kebijakan penghancuran total, di mana bahkan kata "perang" kehilangan maknanya.

"Yang sedang terjadi bukanlah perang, tapi kekejaman," tutur Paus Fransiskus, seperti dikutip Filiu

Salah satu bentuk kekejaman yang paling sunyi namun paling berbahaya, menurut Filiu, adalah bagaimana Israel menggunakan bahasa sebagai alat kekuasaan.

Wilayah yang dibom, dikosongkan, dan tak layak huni kini diberi label "zona merah." Artinya: para penghuninya diwajibkan pindah, lagi.

Baca juga: Kapolri Harapkan PWI Segera Bersatu, Dukung Kongres Persatuan

Rata-rata warga Gaza telah mengungsi lima kali sejak 7 Oktober 2023. Ada yang sepuluh kali. Apa makna "zona kemanusiaan" jika tidak ada lagi tempat aman untuk manusia?

Dalam catatannya, Filiu menyaksikan bagaimana warga Gaza masih berusaha mempertahankan secercah kemanusiaan. Anak-anak kecil berbagi remah makanan dengan kucing liar.

Keluarga menggantungkan pakaian di balkon bangunan roboh. Tenda-tenda lusuh memantulkan warna-warni samar di tengah abu puing-puing. "Saya lebih memilih berpegang pada serpihan kehidupan dari kapal gila ini."

Buku _Un historien à Gaza_ bukan buku propaganda. Itu buku sejarah. Ditulis dengan bahasa Prancis yang kering dan presisi seperti pisau bedah. Tanpa hiperbola, tanpa dramatisasi murahan.

Baca juga: Fadli Zon Tetapkan Hari Kebudayaan Nasional, Jamiluddin Ritonga: Jangan Gunakan Pendekatan Cocokologi

Justru karena itulah ia begitu menusuk. Karena yang berbicara adalah sejarawan yang sudah puluhan tahun meneliti Gaza, berbicara dalam bahasa fakta, dan menulis dengan darah saksi mata.

Bahwa buku itu sulit diterima di ruang-ruang media Eropa bukan karena isinya bohong —melainkan karena terlalu benar.

Di Eropa, televisi dan radio begitu gencar menyiarkan dukungan bagi rakyat Ukraina (yang memang pantas didukung), namun menghindar dari kenyataan Gaza. Seolah nyawa anak-anak Palestina tak sepadan dengan nyawa anak-anak Eropa.

Apa yang ditulis Jean-Pierre Filiu bukan sekadar laporan, tapi pelajaran sejarah yang sedang ditulis hari ini. Dan seperti semua pelajaran sejarah penting, ia tidak datang dengan kenyamanan, tapi dengan luka dan pertanyaan: Jika dunia diam ketika Gaza dihancurkan, apa jaminannya dunia akan bersuara saat giliran kita tiba?

Baca juga: Catatan Cak AT: Korupsi Dibilang Rezeki

Dan mungkin, seperti kata Pep Guardiola, ketakutan itu tidak berlebihan. "Anak-anak Gaza yang terbunuh hari ini, bisa jadi adalah cermin bagi anak-anak kita besok," tuturnya. (***)

(Bersambung ke Bagian Ketiga: Geng Abu Shabab)

Penulis: ak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 17/7/2025

Read Entire Article
Politics | | | |