Catatan Cak AT: Ribuan Server di Balik Visual Ne Zha 2

1 day ago 2
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Ribuan Server di Balik Nhe Zha 2. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ini refleksi saya usai nonton Ne Zha 2. Ya, di film dua jaman ini, di mana naga menari, lava mengalir bak kuah bakso, dan bocah dewa bernama Ne Zha meluncur bebas bagai pesawat tempur, ada satu pahlawan yang tak pernah muncul di poster atau layar lebar: komputasi super.

Betul, di balik visual efek dahsyat yang memukau Ne Zha 2 — film yang baru saja menyalip The Battle at Lake Changjin sebagai film terlaris sepanjang masa di China, bahkan hampir di dunia — tersembunyi kekuatan yang lebih sakti dari Ne Zha itu sendiri: server.

Tepatnya, ribuan server kokoh di Gui'an Supercomputing Center, sebuah fasilitas yang tidak kalah sibuknya dengan dapur restoran di malam tahun baru.

Sekitar lima persen pengerjaan film yang sedang diputar di bioskop ini, dikerjakan di fasilitas render canggih China ini.

Baca juga: Catatan Cak AT: Podcast Lansia Taklukkan AI

Menurut Xia Hai, Direktur Departemen Pembangunan dan Konstruksi di Gui'an New Area Science and Technology Innovation Industry Development Co, semua adegan spektakuler dalam film Ne Zha 2 — dari pusaran air naga raja hingga lava merah yang mengalir — tak mungkin terjadi tanpa bantuan komputasi bertenaga raksasa.

Mari kita refleksikan: zaman dahulu, pembuat film hanya perlu kamera, aktor bersemangat, dan mungkin seekor ayam untuk adegan dramatis. Hari ini? Tanpa ribuan prosesor sibuk bekerja 24 jam sehari, bahkan setitik buih air pun tak bisa muncul di layar. Era digital dan AI memang telah mengubah "aksi" menjadi "render".

Agar Ne Zha 2 bisa menyajikan visual yang membuat mata terbelalak dan otak terengah-engah, dibutuhkan 20.000 server yang bekerja siang malam, lebih rajin dari sebagian manusia. Pusat data Gui'an itu mampu memproses hingga satu exaFLOP (ya, itu satu miliar miliar operasi per detik).

Kebutuhan listrik untuk server-server itu konon bisa menyalakan satu kota kecil. Pusat data Gui'an mengkonsumsi sekitar 50 megawatt listrik — cukup untuk menghidupkan 50 ribu rumah secara bersamaan. Tapi juga perlu kipas pendingin super karena jika tidak, server-server ini akan mendidih seperti panci sup.

Baca juga: Anya Geraldine Dulu Super Lugu, Kini Tampil Glamour Bak Jablai

Dan jangan lupa, semua ini hanya untuk satu film animasi. Kalau Ne Zha punya saudara kembar yang juga harus dikerjakan untuk sequel berikutnya, mungkin mereka perlu membangun satu pembangkit listrik baru hanya untuk itu. Tapi jangan khawatir, China tak akan mundur.

Di China, industri animasi kini menjadi medan perang para pemangku server. Perusahaan render seperti Base FX, Original Force, dan Light Chaser Animation berlomba-lomba membangun pusat komputasi sendiri, atau menyewa ke pusat data kolosal seperti Gui'an.

Tapi ini bukan kisah indah tanpa noda. Banyak studio kecil harus menyewa komputasi dengan harga tinggi, dan kadang terpaksa mengantre berhari-hari hanya untuk merender satu adegan. Bayangkan menunggu tiga hari penuh hanya untuk melihat naga berkedip.

Bahkan, beberapa studio animasi memilih outsourcing ke provinsi-provinsi dengan tarif listrik lebih murah. Industri film-film animasi yang dikagumi generasi kita ini bukan hanya soal kreativitas, tapi juga soal logistik, energi, dan kapital.

Baca juga: Catatan Cak AT: 'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Lalu, bagaimana dengan kita? Di Indonesia, realitasnya masih agak berbeda. Persisnya, jauh bedanya. Industri animasi lokal masih banyak bergantung pada server-server biasa yang mendekati pensiun dini, render farm mini di ruang tamu. Dan tentu saja, doa para animator.

Belum ada pusat superkomputer publik skala nasional yang bisa disewa untuk proyek kreatif. Beberapa studio besar mengandalkan layanan cloud internasional (Amazon Web Services, Google Cloud, Alibaba Cloud), namun harganya sering membuat kantong jebol sebelum filmnya selesai.

Ironisnya, di tengah gempuran Tiongkok membangun data center raksasa untuk film animasi, kita masih meributkan apakah perlu "upgrade RAM" di lab multimedia atau cukup "install ulang Windows". Mau menambah satu kartu grafis RTX 3090 saja mikirnya laaaama.

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Ne Zha 2 bukan sekadar sukses hiburan. Ia adalah pengingat keras bahwa kreativitas masa kini butuh fondasi teknologi yang kuat. Mau buat film animasi, game, atau bahkan aplikasi AI? Butuh komputasi skala besar.

Baca juga: Tarif Timbal Balik ala Trump: Strategi Dagang atau Jurus Pedang Bermata Dua?

Jika Indonesia ingin menjadi pemain besar di industri kreatif digital, kita harus mulai membangun pusat komputasi nasional yang terjangkau untuk pelaku industri kreatif. Juga meningkatkan literasi teknologi di kalangan seniman dan kreator.

Kita dorong investasi energi terbarukan agar data center tak menambah beban lingkungan. Karena dalam dunia baru ini, siapa yang menguasai server, dia yang menguasai cerita. Jika tidak? Ya, hanya bisa duduk di bioskop, kagum melihat Ne Zha jungkir balik di layar — sambil bertanya-tanya, "Kenapa naga kita masih bentuk kertas?" (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 14/4/2025

Read Entire Article
Politics | | | |