Dari Jamu hingga Perak, Seminar Jejak Peradaban Kupas Transformasi Produk Budaya Jadi Nilai Ekonomi

10 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Seminar Jejak Peradaban 2025 kembali digelar untuk kedua kalinya, dengan fokus baru yang menyoroti bagaimana budaya material keraton bisa menjadi motor ekonomi kreatif dan pariwisata. Jika tahun-tahun sebelumnya seminar lebih menekankan pada aspek historis, kali ini pembahasan mengarah pada strategi pewarisan budaya melalui transformasi produk seperti jamu, perhiasan, hingga jamuan agar tetap relevan sekaligus bernilai ekonomi.

Mengusung tema Resiliensi Budaya pada Era Disrupsi, kegiatan ini mengaitkan topik-topik budaya yang lahir pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dengan tantangan industri kreatif hari ini. Agenda seminar juga berjalan paralel dengan pameran akhir tahun bertajuk Pangastho Aji: Perjalanan Sultan HB VIII, yang menampilkan berbagai produk budaya keraton.

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya, GKR Bendara, mengatakan kesinambungan tradisi tidak dapat dilepaskan dari keterbukaan budaya yang pernah dicontohkan HB VIII.

"Seminar ini mencoba mengenalkan produk-produk yang dulu hanya bisa diakses di dalam keraton, namun semasa HB VIII bisa diakses semua orang," ucap GKR Bendara dalam konferensi pers, Sabtu (6/12/2025).

Menurutnya, pada masa tersebut keraton bukan hanya membuka diri, tetapi juga mendorong transformasi produk budaya agar bisa hidup di tengah industrialisasi yang mulai masuk. Hal ini, kata GKR Bendara, menjadikan banyak warisan budaya mulai dari jamu, perhiasan perak, hingga jamuan tetap lestari hingga abad ke-20 dan ke-21.

Begitu pula di era saat ini. GKR Bendara secara khusus menyoroti peran pelaku pariwisata dan UMKM yang hadir. Baginya, pariwisata yang kuat bukan sekadar memasarkan destinasi, tetapi menghadirkan produk yang membawa cerita.

"Pariwisata itu cukup besar ya, tidak hanya perihal dodolan destinasi. Tetapi yang mereka lakukan adalah bagaimana bisa menceritakan tentang budaya kita, mengemas budaya kita menjadi produk pariwisata," ujarnya.

"Tentunya yang mereka harus lakukan adalah pertama mencari informasi dan mendapatkan informasi tentang budaya-budaya kita itu apa saja. Yang pasti mereka harus mau belajar tentang budaya," katanya menambahkan.

Ia juga menekankan bahwa budaya tak terbatas pada tarian atau gamelan. Produk keseharian seperti batik, jamu, dan perhiasan juga memiliki akar budaya yang kuat dan dapat menjadi alat penyampai nilai budaya secara lebih halus dan konkret.

Oleh karena itu, GKR Bendara mendorong UMKM dan industri kreatif untuk memasukkan unsur budaya ke dalam setiap produk.

"Mau itu produk perhiasan, mau itu fesyen, ataupun bahkan kepada mebel dan lain sebagainya itu kita punya sejarahnya semua. Dan itu punya unsur yang berakar dari keraton maupun berakar dari lokal wisdomnya di DIY," ungkapnya.

Pewarisan Butuh Narasi Baru, Gen Z Jadi Sasaran Utama

Seminar ini dihadiri ratusan peserta dari kalangan muda. Keraton, menurut GKR Bendara, sedang menggarap pendekatan baru agar generasi digital merasa dekat dengan budaya. Ia menilai media sosial bisa menjadi sarana strategis untuk menghadirkan kembali budaya lokal yang kini harus bersaing dengan paparan budaya global.

"Generasi Millenial dan Gen Z tidak jauh dari budaya. Mereka membutuhkan informasi yang akurat dan bertanggung jawab. Keraton hadir disana untuk memenuhi dari pertanyaan-pertanyaan yang ada," kata dia.

"Indonesia sebagai pengguna terbanyak media sosial harus mampu mengisi ruang itu dengan budaya kita. Giliran kita yang membanjiri media sosial dari mancanegara dengan budaya kita," ucap GKR Bendara.

Salah satu narasumber, Priyo Salim dari Salim Perak Kotagede, mengisahkan bagaimana industri perak pernah mencapai masa keemasan pada era HB VIII. Ia menilai kejayaan itu terjadi karena keterbukaan keraton yang menularkan motif-motif klasik kepada masyarakat.

"Industri perak Kotagede pernah mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Periode ini ditandai dengan tingkat kesejahteraan pengrajin yang sangat tinggi, bahkan melebihi kemampuan pengusaha perak modern saat ini," ujar Priyo.

Ia berharap generasi muda dapat melanjutkan warisan kriya bersejarah ini dan mendapatkan manfaat yang positif dari kegiatan seminar Jejak Peradaban ini.

"Saya menyambut baik seminar Jejak Peradaban dalam upaya melestarikan dan mengembangkan warisan budaya adiluhung perak Kotagede agar tidak tergerus oleh kemajuan zaman dan pengaruh desain luar," ujarnya.

Sementara itu, Valeri Putri Hadiningrat dari Subeng Klasik menekankan budaya tidak identik dengan sesuatu yang kuno atau jauh dari keseharian. Menurutnya, perhiasan tradisional seperti bros, sumbeng, atau suweng bisa menjadi bagian dari gaya modern bila dikemas dengan tepat.

"Kita bisa keren, kita bisa pakai untuk sehari-hari. Jadi saya pengen di sini anak-anak muda enggak malu lagi atau enggak merasa kalau budaya itu kuno atau ketinggalan zaman," ungkap Valeri.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, seminar tahun ini lebih menyoroti best practice pengelolaan warisan budaya yang dapat diterapkan di lapangan mulai dari UMKM, sektor pariwisata, hingga pendidikan. Peserta diajak mempelajari bagaimana praktik pengemasan budaya di era HB VIII dapat diterjemahkan kembali pada era disrupsi. Melalui seminar ini, Keraton berharap masyarakat semakin memahami bahwa banyak produk budaya yang mereka temui sehari-hari sebenarnya memiliki akar yang kuat dari keraton.

Read Entire Article
Politics | | | |