REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi usulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang menginginkan vasektomi bagi suami sebagai syarat penerima bantuan sosial. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali mengingatkan adanya hasil keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang digelar di Cipasung, Tasikmalaya, pada 2012 lalu.
Dalam forum tersebut, para fakih Islam mengambil keputusan berdasarkan pada pertimbangan syariat Islam, perkembangan medis, serta kaidah-kadiah ushul fikih terkait metode kontrasepsi yang dikenal sebagai medis operasi pria (MOP).
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV menetapkan, praktik vasektomi tetap dihukumi haram, kecuali dalam kondisi tertentu yang memenuhi lima syarat ketat.
"Vasektomi secara prinsip adalah tindakan yang mengarah pada pemandulan, dan dalam pandangan syariat, hal itu dilarang. Namun, dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan rekanalisasi, maka hukum bisa menjadi berbeda dengan syarat-syarat tertentu," ujar Kiai Muiz saat dihubungi Republika, Selasa (29/4/2025) malam.
Kelima syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, vasektomi dilakukan untuk tujuan yang tidak menyalahi syariat Islam. Kedua, vasektomi tidak menyebabkan kemandulan permanen.
Ketiga, ada jaminan medis bahwa rekanalisasi (penyambungan kembali saluran sperma) bisa dilakukan dan fungsi reproduksi pulih seperti semula. Keempat, tidak menimbulkan mudarat bagi pelakunya. Terakhir, vasektomi tidak dimasukkan ke dalam program kontrasepsi mantap.
Bagaimanapun, keharaman vasektomi tetap berlaku hingga kini. Sebab, rekanalisasi tidak 100 persen menjamin kembali normalnya saluran sperma.
"Karena hingga hari ini rekanalisasi masih susah dan tidak menjamin pengembalian fungsi semula, maka hukum haraman masih berlaku," tegas Kiai Muiz.
Ia mengakui, perkembangan teknologi medis memungkinkan terjadinya rekanalisasi. Akan tetapi, tingkat keberhasilan operasi tersebut tetap bergantung pada banyak faktor sehingga tidak menjamin kesuburan kembali seperti semula. Terlebih lagi, rekanalisasi membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal daripada vasektomi.
Karena itu, Kiai Muiz mengatakan, MUI merekomendasikan kepada pemerintah agar tidak mengampanyekan vasektomi secara terbuka dan massal. "Pemerintah harus transparan dan objektif dalam sosialisasikan vasektomi, termasuk menjelaskan biaya rekanalisasi yang mahal dan potensi kegagalannya," ucap Kiai Muiz.
MUI juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk membangun keluarga yang bertanggung jawab, sehat, dan unggul, serta tidak melupakan tugas menyiapkan generasi penerus bangsa. Penggunaan alat kontrasepsi, kata Kiai Muiz, harus bertujuan untuk mengatur keturunan (tanzhim al-nasl), bukan untuk membatasi secara permanen (tahdid al-nasl) apalagi sebagai dalih gaya hidup bebas yang menyimpang dari ajaran agama.