Farhan Aulia Kamal
Info Terkini | 2025-07-01 09:15:15

Pendahuluan
Reformasi administrasi publik di Indonesia sering disebut-sebut sebagai kunci menuju pemerintahan yang efisien dan bebas dari korupsi. Dalam salah satu tulisannya, Naufal Indra menawarkan digitalisasi birokrasi sebagai solusi utama, mulai dari penerapan e-KTP hingga sistem e-procurement, untuk menciptakan transparansi dan memutus rantai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, muncul pertanyaan penting: apakah transformasi teknologi benar-benar mampu menyelesaikan persoalan birokrasi yang kompleks? Atau justru hanya menjadi ilusi kemajuan yang mengalihkan perhatian dari akar masalah yang sebenarnya, seperti mentalitas korup, kekuasaan oligarki dalam birokrasi, dan partisipasi publik yang hanya bersifat simbolis?
Sumber: https://www.istockphoto.com/photo/money-gavel-and-pen-on-the-german-tax-form-translation-gm909262996-250447882?utm_source=pexels&utm_medium=affiliate&utm_campaign=no-results_photo&utm_content=srp_page_end_media&utm_term=koruption
Isi Pembahasan
Digitalisasi memang memiliki potensi untuk menekan praktik KKN, tetapi bukan merupakan solusi tunggal. Meskipun teknologi seperti e-procurement dirancang untuk mengurangi korupsi, pada kenyataannya, kasus korupsi e-KTP yang melibatkan pejabat tinggi Kementerian Dalam Negeri membuktikan bahwa sistem digital tetap bisa dimanipulasi jika integritas pelakunya rendah. Praktik pungutan liar juga tetap terjadi, hanya saja bentuknya berubah menjadi "di balik layar", seperti pemalsuan dokumen online atau manipulasi data. Bahkan, proyek digital sering kali menjadi ladang baru untuk mark-up anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa selama budaya mencari celah untuk menyimpang masih kuat, digitalisasi hanya mengubah bentuk korupsi, bukan menghilangkannya.
Selain itu, digitalisasi yang belum merata justru menciptakan ketimpangan baru dalam birokrasi. Masyarakat di pedesaan yang minim akses internet semakin tertinggal dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan. Contohnya, layanan KTP online di kota mungkin bisa dilakukan dengan mudah, sementara di desa masih harus antre panjang secara manual. Pegawai negeri sipil di daerah yang belum terbiasa dengan teknologi sering kali mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan inefisiensi baru. Misalnya, dokumen digital yang tetap harus dicetak karena aturan yang kaku. Ketergantungan pada pihak swasta untuk sistem digital juga menimbulkan risiko privatisasi birokrasi dan penggelembungan anggaran proyek IT. Jika infrastruktur dan pelatihan sumber daya manusia tidak merata, digitalisasi justru memperlebar kesenjangan pelayanan publik.
Selain itu, partisipasi publik yang diklaim meningkat melalui teknologi juga perlu dipertanyakan. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) sering hanya menjadi formalitas tahunan tanpa hasil nyata. Layanan pengaduan online kadang hanya ditanggapi secara otomatis tanpa penyelesaian konkret. Aspirasi warga pun sering kalah oleh kepentingan politik elite dalam penyusunan kebijakan. Jika partisipasi masyarakat hanya sebatas simbol tanpa pengaruh nyata, maka administrasi publik tetap elitis dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Penutup
Digitalisasi birokrasi memang merupakan langkah positif, tetapi tidak cukup untuk mewujudkan pemerintahan yang benar-benar bersih, adil, dan melayani. Masalah utama bukanlah pada teknologinya, melainkan pada sistem birokrasi yang oligarkis serta mentalitas aparat yang belum berubah. Dibutuhkan solusi yang lebih menyeluruh, seperti reformasi struktural yang mengevaluasi hubungan antara birokrasi dan kekuasaan politik, penegakan hukum yang tegas dan adil tanpa pandang bulu, serta pendidikan etika bagi aparat birokrasi agar mereka benar-benar memahami bahwa tugas mereka adalah melayani, bukan berkuasa. Tanpa perubahan mendasar ini, digitalisasi hanya akan menjadi pemanis permukaan yang tidak mampu menyembuhkan penyakit korupsi dan inefisiensi yang telah lama menggerogoti tubuadministrasi publik di Indonesiah birokrasi kita.
Disclaimer: Tulisan diatas adalah naskah polemik. Tulisan ini bertujuan untuk menanggapi terhadap artikel yang berjudul "Administrasi Publik: Fondasi Penting dalam Pembentukan Negara yang Efektif dan Responsif" karya naufal indra". Link terhubung: https://retizen.republika.co.id/posts/688913/administrasi-publik-fondasi-penting-dalam-pembentukan-negara-yang-efektif-dan-responsif
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.