Dinamika Radikalisme di Dunia Maya

2 months ago 57

Image lutvina

Politik | 2025-06-27 21:27:53

"Radikalisme tumbuh saat suara dibungkam, dan kebenaran dimonopoli." (Sumber gambar : pinterest)

Dulu, ketika orang ingin menyampaikan ideologi atau ajaran, mereka butuh mimbar, butuh selebaran, atau pertemuan rahasia. Tapi hari ini, semuanya bisa dilakukan dari layar ponsel, dari kamar yang sepi, tanpa perlu tatap muka. Dunia sudah berubah. Teknologi digital telah mengubah cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, bahkan berpikir dan meyakini sesuatu.

Media sosial dan forum daring tak lagi sekadar tempat berbagi cerita atau hiburan. Mereka telah menjadi arena pertempuran ideologi, tempat berbagai pandangan dan narasi bertarung termasuk narasi radikal. Ini bukan hanya persoalan satu negara. Ini sudah menjadi fenomena global, yang terus bergerak cepat, liar, dan nyaris tak terbendung.

Radikalisme kini tak lagi tampil dengan wajah keras di atas mimbar, tapi lewat video pendek yang menginspirasi, thread panjang yang membius logika, atau obrolan online yang terlihat biasa saja. Internet, tanpa disadari, telah menjadi lahan subur untuk menyebarkan paham ekstrem, memperluas jaringan, dan merekrut anggota baru.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tak luput dari ancaman ini. Justru kita menjadi salah satu sasaran utama. Kenapa? Karena generasi mudanya aktif, konektivitasnya tinggi, dan seperti negara-negara lain, kita juga punya celah: ketimpangan, kegelisahan sosial, dan keresahan identitas.

Di balik kecanggihan teknologi, ada peluang besar yang dimanfaatkan kelompok radikal. Mereka bergerak di ruang-ruang yang sulit dilacak, menyebarkan propaganda dengan biaya nyaris nol. Platform seperti YouTube, Facebook, Telegram, dan TikTok bukan hanya alat hiburan tapi kini juga alat penyebaran ideologi.

Bayangkan, menurut data BNPT, sekitar 80% pelaku terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terpapar paham radikal melalui internet (Republika, 2024). Ini artinya, pintu masuk utama radikalisasi hari ini bukanlah pertemuan fisik, tapi layar digital terutama bagi anak-anak muda yang tumbuh bersama media sosial.

Dan di tahun 2025 ini, ancaman itu masuk ke babak baru. Kecerdasan buatan atau AI mulai dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Teknologi generatif seperti chatbot dan deepfake digunakan untuk membuat narasi manipulatif. Mereka membuat konten yang tampak moderat, simpatik, dan bahkan edukatif di awal. Namun perlahan-lahan, membawa penontonnya ke arah pemikiran ekstrem.

Ditambah lagi, algoritma media sosial secara otomatis akan terus menyodorkan konten serupa. Saat seseorang menonton satu video radikal, sistem akan mendorong video berikutnya yang lebih ekstrem. Maka terbentuklah “echo chamber” ruang gema digital yang hanya memperkuat keyakinan yang sudah dimiliki, menutup telinga terhadap pandangan yang berbeda.

Bagaimana Kita Merespons?

Pemerintah tentu tidak tinggal diam. Di awal tahun 2025, Kementerian Kominfo meluncurkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN). Sistem ini mewajibkan platform digital untuk menyaring konten bermuatan radikalisme, ujaran kebencian, dan kekerasan ekstrem.

Selain itu, BNPT menjalankan program Duta Damai Dunia Maya inisiatif yang melibatkan anak-anak muda dari berbagai daerah. Mereka dilatih untuk membuat konten positif, kontra-narasi, dan kampanye damai di media sosial. Karena memang, perlawanan terhadap radikalisme digital bukan hanya tugas aparat, tapi tugas kita semua terutama generasi muda yang hidup di dalam ekosistem digital itu sendiri.

Tapi jalan kita belum selesai. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Literasi digital masyarakat masih rendah. Banyak orang tidak bisa membedakan antara informasi yang benar dan hoaks. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun menjadi bahan bakar utama yang dipakai kelompok radikal untuk menyebar janji-janji palsu: tentang keadilan, kebangkitan, dan identitas.

Dan jangan lupa, internet tidak mengenal batas negara. Radikalisme bisa datang dari mana saja dan menyebar ke mana saja. Maka penanggulangannya pun harus lintas batas, lintas sektor—melibatkan dunia pendidikan, tokoh agama, komunitas digital, hingga kerja sama internasional.

Dunia digital adalah cermin dunia nyata bahkan kadang lebih kejam, lebih cepat, dan lebih rumit. Radikalisme di dunia maya bukan sekadar tantangan teknologi, tapi tantangan kemanusiaan. Ia tidak bisa dihadapi hanya dengan sensor dan pelarangan. Kita perlu pendekatan baru: yang edukatif, yang mencerahkan, dan yang kolaboratif.

Karena kalau tidak, dunia maya bisa menjadi ladang subur bagi ekstremisme. Tapi jika kita bersatu pemerintah, platform digital, masyarakat sipil, dan terutama generasi muda kita bisa menjadikannya tempat yang lebih damai, lebih aman, dan lebih manusiawi.

Akhirnya, ini bukan hanya tentang teknologi. Ini tentang siapa kita, apa yang kita yakini, dan masa depan bangsa yang ingin kita bentuk bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |