Ekspor Sawit Indonesia Sumbang Lebih dari Rp480 Triliun per Tahun

7 hours ago 1

loading...

Industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar negara menghadapi tantangan tumpang tindih regulasi. FOTO/dok.SindoNews

JAKARTA - Kontribusi industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar negara kini menghadapi tantangan tumpang tindih regulasi dan ketidakpastian hukum. Dua aturan terbaru, Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, justru dikhawatirkan bakal menurunkan produksi dan melemahkan daya saing sawit Indonesia di pasar global.

"Kalau aturan ini ujung-ujungnya bikin produksi turun, yang rugi bukan hanya pelaku usaha, tapi juga negara. Ingat, sawit adalah penyumbang devisa dan kebutuhan energi nasional," ujar Peneliti Sawit Universitas Indonesia sekaligus Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Eugenia Mardanugraha, dalam diskusi publik "Menakar Kebijakan Industri Sawit Menuju Indonesia Emas 2045" dikutip, Rabu (18/6).

Baca Juga: Indonesia-Eropa Sepakat Akhiri Perundingan Dagang, Sawit Masuk Perjanjian

Menurut Eugenia, ekspor sawit Indonesia menyumbang lebih dari USD30 miliar atau setara Rp480 triliun per tahun. Jika produktivitas anjlok akibat ketidakjelasan aturan, target pertumbuhan ekonomi nasional terancam terganggu.

Dari sisi ekonomi, dia menyoroti peran penting kelapa sawit dalam stabilitas ekonomi nasional dan energi alternatif seperti biodiesel. Kepastian regulasi akan menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, sekaligus meningkatkan produktivitas sawit nasional.

Eugenia mendorong agar pemerintah hadir sebagai investor melalui badan usaha milik negara (BUMN) untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menarik minat swasta. “Jika BUMN mampu mencetak keuntungan, dapat dipastikan investor swasta akan terdorong ikut berinvestasi,” ujarnya.

Adapun Kepala Pusat Studi Sawit IPB, Budi Mulyanto, menyoroti ketidakakuratan referensi peta yang digunakan Satgas Pemulihan Kawasan Hutan (PKH) Kejaksaan. Menurut dia, peta kawasan hutan yang dipakai kerap tidak sinkron dengan Undang-undang Kehutanan. “Kalau mau beres, batas kawasan hutan harus ditertibkan dulu, tanah masyarakat yang bukan kawasan hutan harus dikeluarkan dari peta kawasan,” kata dia.

Guru Besar IPB ini, menekankan perlunya kebijakan afirmatif dalam pengelolaan kehutanan dan industri sawit. Ia mengkritik penggunaan peta kawasan hutan sebagai acuan hukum yang mutlak. Alasannya, acuan tersebut kerap tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Read Entire Article
Politics | | | |